Forum Ortax › Forums › Perpajakan Internasional › PENGURANGAN PBB
PENGURANGAN PBB
Mohon aturan mengenai pengurangan PBB bagi WP siapa aja atau syaratnya
pengurangan pbb salah satu syaratnyanya pensiunan
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 05/PJ/2009TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 164/PMK.03/2008 TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEHUBUNGAN DENGAN LUAPAN LUMPUR SIDOARJODIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan telah ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.03/2008 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sehubungan Dengan Luapan Lumpur Sidoarjo, bersama ini disampaikan Peraturan Menteri Keuangan dimaksud dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Pengertian
Dalam Surat Edaran ini yang dimaksud dengan:
1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak objek Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak dapat dimanfaatkan atau manfaatnya mengalami penurunan akibat terkena luapan lumpur Sidoarjo.
2. Permohonan Pengurangan adalah permohonan pengurangan PBB yang terutang sehubungan dengan luapan lumpur Sidoarjo.2. Ruang Lingkup
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.03/2008 merupakan pelaksanaan ketentuan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, yang mengatur bahwa Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terutang karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
2. Pegurangan PBB yang terutang sehubungan dengan luapan lumpur Sidoarjo dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang objek pajaknya:
1. tidak dapat dimanfaatkan; atau
2. manfaatnya mengalami penurunan,
akibat terkena luapan lumpur Sidoarjo.
3. Pengurangan dapat diberikan terhadap PBB yang terutang sebagaimana yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan/atau Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB) untuk Tahun Pajak dimana objek pajak dimaksud tidak dapat dimanfaatkan atau mengalami penurunan manfaat karena terkena luapan lumpur Sidoarjo, sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan tersebut.3. Penerimaan Permohonan Pengurangan dan Penelitian Persyaratan
1. Permohonan Pengurangan diajukan kepada Kepala KPP Pratama baik secara langsung atau melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
2. Tanggal penerimaan surat yang dijadikan dasar untuk memproses Permohonan Pengurangan adalah:
1. tanggal diterimanya Permohonan Pengurangan, dalam hal disampaikan secara langsung; atau
2. tanggal stempel pos, dalam hal Permohonan Pengurangan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
3. Account Representative (AR) melakukan penelitian persyaratan atas Permohonan Pengurangan yang diterima dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada angka 2 dengan menggunakan Lembar Penelitian Persyaratan.
4. Dalam hal Permohonan Pengurangan tidak memenuhi persyaratan, permohonan tersebut dianggap bukan sebagai surat Permohonan Pengurangan sehingga tidak dipertimbangkan, dan Kepala KPP Pratama memberitahukan kepada Wajib Pajak secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada angka 2.4. Penanganan Permohonan Pengurangan yang Memenuhi Persyaratan
1. Dalam hal kewenangan memberi keputusan berada pada Kepala Kantor Wilayah DJP atau Direktur Jenderal Pajak. Kepala KPP Pratama meneruskan Permohonan Pengurangan yang telah memenuhi persyaratan ke Kantor Wilayah DJP/Kantor Pusat DJP dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat Permohonan Pengurangan secara lengkap (tanggal Lembar Penelitian Persyaratan).
2. Terhadap Permohonan Pengurangan yang memenuhi persyaratan, Direktur Keberatan dan Banding, Kepala Kanwil DJP, atau Kepala KPP Pratama menugaskan kepada petugas peneliti untuk melakukan penelitian terhadap Permohonan Pengurangan dengan menerbitkan Surat Tugas.
3. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan ketentuan:
1. petugas peneliti melakukan penelitian di kantor terhadap berkas Permohonan Pengurangan dilanjutkan penelitian di lapangan dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis tanggal pelaksanaan penelitian di lapangan kepada Wajib Pajak, atau kepada Kepala Desa/Lurah dalam hal permohonan diajukan secara kolektif;
2. hasil penelitian dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian Pengurangan PBB Sehubungan Dengan Luapan Lumpur Sidoarjo.
4. Keputusan Pengurangan PBB ditetapkan berdasarkan Laporan Hasil Penelitian Pengurangan PBB sehubungan Dengan Luapan Lumpur Sidoarjo.
5. Jangka waktu pelaksanaan penelitian dan penerbitan Surat Keputusan Pengurangan PBB disesuaikan dengan jangka waktu penyelesaian Permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.03/2008. Namun demikian, dalam rangka memberikan pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, Permohonan Pengurangan agar diselesaikan tanpa menunggu batas akhir waktu pelayanan.5. Bentuk Formulir dan Surat
1. Contoh surat Permohonan Pengurangan yang diajukan secara perseorangan dan yang diajukan secara kolektif adalah sebagaimana pada Lampiran I dan Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
2. Bentuk Lembaran Penelitian Persyaratan Permohonan Pengurangan PBB Sehubungan Dengan Luapan Lumpur Sidoarjo adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
3. Bentuk surat pemberitahuan Permohonan Pengurangan tidak dipertimbangkan ditetapkan sebagaimana pada Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
4. Bentuk surat penerusan Permohonan Pengurangan ditetapkan sebagaimana pada Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
5. Bentuk Surat Tugas penelitian Permohonan Pengurangan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VI Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini. Dalam hal jumlah Permohonan Pengurangan cukup banyak, bentuk Surat Tugas dapat disesuaikan dengan guna menampung beberapa permohonan sekaligus.
6. Bentuk surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak dalam rangka penelitian di lapangan Permohonan Pengurangan adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VII Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.
7. Bentuk Laporan Hasil Penelitian Permohonan Pengurangan PBB Sehubungan Dengan Luapan Lumpur Sidoarjo yang diajukan secara perseorangan dan yang diajukan secara kolektif adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VIII dan Lampiran IX Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini.6. Prosedur Penyelesaian Permohonan Pengurangan
Prosedur penyelesaian Permohonan Pengurangan mengikuti Standard Operating Procedure (SOP) Tata Cara Penyelesaian Permohonan Pengurangan PBB Terutang dengan penyesuaian sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian di kantor yang diikuti dengan penelitian di lapangan.
2. Hasil penelitian dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian.
3. Formulir-formulir yang digunakan adalah sesuai dengan lampiran Surat Edaran ini.
4. Jangka waktu penyelesaian terkait penyelesaian permohonan pengurangan PBB terutang sehubungan dengan luapan lumpur Sidoarjo adalah sesuai dengan Surat Edaran ini.Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Januari 2009
Direktur Jenderalttd.
Darmin Nasution
NIP 130605098Tembusan:
1. Menteri Keuangan Republik Indonesia
2. Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan
3. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak
4. Para Direktur, Tenaga Pengkaji, dan Kepala Pusat di Lingkungan Direktorat Jenderal PajakKEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 10/PJ.6/1999TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
1. Bahwa untuk melaksanakan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada wajib pajak perlu adanya ketentuan tentang tata cara pelaksanaannya;
2. Bahwa tata cara pemberian pengurangan tersebut perlu diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
3. Bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, sehingga perlu ditinjau kembali.Mengingat :
1. Pasal 19 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 362/KMK.04/1999 tanggal 5 Juli 1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.Pasal 1
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada :
a.wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
b.wajib pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah Iongsor, gunung meletus dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman.
c.wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah :
a.objek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
b.objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;
c.objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
d.objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
e.objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya
f.objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.
Pasal 3
Wajib pajak veteran sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf c adalah sebagai berikut :
(a)Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI.
(b)Warga Negara Indonesia yang mendapat gelar Kehormatan dengan diberikan sebutan Veteran Pembela Kemerdekaan RI.
Pasal 4
(1)Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 untuk masing-masing wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kotamadya, hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan wajib pajak.
(2)Dalam hal wajib pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah objek pajak yang menjadi tempat domisili wajib pajak.
(3)Dalam hal wajib pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak adalah wajib pajak badan, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan wajib pajak.
Pasal 5
(1)Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi serta penghasilan wajib pajak;
(2)Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
(3)Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang.
(4)Dalam hal permohonan pengurangan diajukan oleh janda/duda veteran yang telah kawin/menikah lagi, maka besarnya persentase pengurangan diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
Pasal 6
(1)Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.
(2)Dalam hal permohonan pengurangan diajukan terhadap SKP, maka pemberian pengurangan PBB hanya dapat diberikan atas pokok ketetapan pajak terutang.
(3)Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung :
a.
sejak tanggal diterima SPPT/SKP.
b.
sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
Pasal 7
(1)Permohonan pengurangan PBB dapat diajukan secara perseorangan atau kolektif (formulir 1/formulir 2a dan 2b/formulirB/FORMULIR 3a dan 3b).
(2)Permohonan pengurangan PBB wajib pajak orang pribadi dilampiri dengan :
a.
foto copy SPPT/SKP tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangan;
b.
foto copy STTS tahun pajak terakhir; dan
c.
foto copy Kartu Tanda Penduduk.
(3)Permohonan pengurangan PBB untuk anggota Veteran RI termasuk janda atau dudanya, dilampiri dengan :
a.
foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangan;
b.
foto copy STTS tahun pajak terakhir;
c.
foto copy Kartu Tanda Penduduk dan atau Kartu Keluarga; dan
d.
foto copy tanda anggota veteran yang berupa : Kartu Tanda Anggota Veteran (KTA) Veteran/SK Pengakuan, Pengesahan dan Penganugerahan Gelar Kehormatan dari Departemen Pertahanan dan Keamanan.
(4)Permohonan pengurangan PBB untuk wajib pajak Badan (formulir-4) dilampiri dengan :
a.
foto copy SPPT/SKP tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangan;
b.
foto copy STTS tahun pajak terakhir;
c.
foto copy SPT PPh tahun pajak terakhir; dan
d.
Laporan Keuangan Perusahaan.
(5)Permohonan pengurangan PBB secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT diterbitkan selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan melalui :
a.
Pemerintah Daerah setempat (kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat), atau
b.
Organisasi Legiun Veteran RI, untuk anggota veteran.
(6)Permohonan pengurangan PBB atas objek pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf b diajukan secara tertulis melalui Pemda Setempat (Kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat).
Pasal 8
(1).Dalam hal permohonan pengurangan PBB yang diajukan wajib pajak telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5), maka permohonan tersebut tidak diproses dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan memberitahukan kepada wajib pajak/Pemda setempat (Kepala Desa/Lurah)/Legiun Veteran RI dengan diberikan penjelasan seperlunya.
(2)Atas permohonan pengurangan PBB yang tidak diproses karena telah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5), wajib pajak masih dapat mengajukan permohonan pengurangan sepanjang tidak melebihi batas waktu 3 (tiga) bulan sejak SPPT atau SKP diterima oleh wajib pajak.
Pasal 9
(1)Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB sampai dengan Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dapat diajukan secara perseorangan maupun kolektif melalui Pemda Setempat (Kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat).
(2)Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB di atas Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) harus diajukan oleh wajib pajak yang bersangkutan.
(3)Permohonan pengurangan yang diajukan oleh wajib pajak atau melalui Pemda Setempat (Kepala Desa/Lurah) selanjutnya diberikan tanda terima berupa Formulir Pelayanan Wajib Pajak dan menata-usahakannya (formulir-5).
Pasal 10
(1)Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan Pajak terutang yang tidak lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerima permohonan pengurangan PBB dengan pokok ketetapan di atas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterimanya permohonan harus meneruskan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
(3)Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan pengurangan PBB terutang lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4)Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat berupa mengabulkan seluruh, sebagian atau menolak permohonan.
(5)Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan secara perseorangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan dari wajib pajak
(6)Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah lewat dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan tersebut dianggap dikabulkan dan diterbitkan keputusan sesuai dengan permohonan pengurangan dari Wajib Pajak.
Pasal 11
(1)Permohonan pengurangan PBB yang diajukan oleh wajib pajak orang pri
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 362/KMK.04/1999TENTANG
PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk lebih menyederhanakan dan memberikan kepastian hukum dipandang perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dengan Keputusan Menteri Keuangan;Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569);
2. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998;MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :1. Pajak terutang adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang;
2. Bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya;
3. Sebab-sebab lain yang luar biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman;
4. Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya adalah :
1. obyek pajak berupa lahan pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi;
2. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan lingkungan;
3. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
4. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
5. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan;
6. objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan.Pasal 2
Pengurangan atas pajak terutang dapat diberikan kepada :1. wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4;
2. wajib pajak orang pribadi atau badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan 3;
3. wajib pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan.Pasal 3
Pengurangan PBB diberikan atas pajak terutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).Pasal 4
(1) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 1 dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek pajak serta penghasilan wajib pajak.
(2) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2 dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang.
(3) Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 3 ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang.Pasal 5
(1) Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.
(2) Permohonan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung :1. sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP; atau
2. sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.Pasal 6
(1) Permohonan pengurangan pajak terutang dapat diajukan secara kolektif atau perseorangan.
(2) Permohonan pengurangan pajak terutang secara perseorangan harus dilampiri :1. foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya; dan
2. foto copy tanda anggota Veteran, bagi anggota Veteran.(3) Permohonan pengurangan pajak terutang secara kolektif dapat diajukan sebelum SPPT diterbitkan, selambat-lambatnya tanggal 10 Januari untuk tahun pajak yang bersangkutan melalui :
1. Pemerintah Daerah setempat; atau
2. Organisasi Legiun Veteran Republik Indonesia, bagi anggota Veteran.(4) Permohonan pengurangan pajak terutang untuk wajib pajak badan harus dilampiri dengan :
1. foto copy SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya;
2. foto copy SPT PPh tahun pajak terakhir beserta lampirannya; dan
3. laporan keuangan.(5) Permohonan pengurangan pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 2 harus dilampiri Surat Keterangan dari Pemerintah Daerah setempat/Instansi terkait.
(6) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan pajak terutang apabila telah melunasi PBB untuk tahun sebelumnya atas objek pajak yang sama.Pasal 7
(1) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang yang lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan atau SKP, atas nama Menteri Keuangan memberikan Keputusan atas permohonan pengurangan pajak terutang yang tidak lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dapat berupa : mengabulkan seluruh, sebagian atau menolak permohonan.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan dari Wajib Pajak, apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan wajib pajak dianggap dikabulkan.
(5) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhitung sejak :1. tanggal tanda terima Surat Permohonan, dalam hal Surat Permohonan disampaikan secara langsung;
2. tanggal stempel pos, dalam hal Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.(6) Keputusan pemberian pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pasal 8
Direktur Jenderal Pajak melaporkan pelaksanaan pemberian pengurangan PBB kepada Menteri Keuangan dalam tiap semester.Pasal 9
(1) Pelaksanaan teknis Keputusan ini diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pelaksanaan Pengurangan PBB secara kolektif diatur oleh Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal PUOD.Pasal 10
Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 158/KMK.04/1991, Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 569/KMK.04/1994 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 470/KMK.04/1996 dinyatakan tidak berlaku.Pasal 11
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juli 1999
MENTERI KEUANGANttd.
BAMBANG SUBIANTO
salam
terima kasih rekan hanif
- Originaly posted by Noel:
Noel
Senior
Location : Bintaro,tangerang.
Joined : 28 Feb 2009.
Posts : 385.
31 May 2009 17:37 •Mohon aturan mengenai pengurangan PBB bagi WP siapa aja atau syaratnya
jawab:
pengurangan PBB yaitu untuk:
1. Unit pensiunan ABRI dan PNS maka max dikurangi 75% pengurangan
2. jika WP dikenai bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dll maka pengurangan max 100%
3. WP dengan karu ASKIN yaitu pihak2 yang tidak mampu membayar dikaenakan pengurangan max 75% PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 111/PMK.03/2009TENTANG
TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PAJAK
BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN, DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN
PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN,
SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT KETETAPAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, ATAU SURAT TAGIHAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENARDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan ketentuan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 menyatakan bahwa terhadap ketentuan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
2. bahwa berdasarkan pada pertimbangan huruf a, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang Tidak Benar;Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797);
5. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG, SURAT KETETAPAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT TAGIHAN PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN, SURAT KETETAPAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, ATAU SURAT TAGIHAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN, YANG TIDAK BENAR.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
2. Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
3. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut dengan SPPT adalah Surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
4. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
5. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan STP PBB adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang PBB.
6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar yang selanjutnya disebut dengan SKBKB adalah Surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok BPHTB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disebut dengan SKBKBT adalah Surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan.
8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar yang selanjutnya disebut dengan SKBLB adalah Surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang.
9. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang selanjutnya disebut dengan SKBN adalah Surat ketetapan yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang dibayar.
10. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan STB adalah Surat untuk melakukan tagihan BPHTB dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
11. Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut KPP Pratama adalah Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang menerbitkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, dan/atau STB.Pasal 2
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
1. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi PBB dan BPHTB berupa bunga, denda, dan kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak; dan/atau
2. mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB, yang tidak benar.Pasal 3
(1) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat dilakukan terhadap sanksi administrasi yang tercantum dalam:
1. SKP PBB;
2. STP PBB;
3. SKBKB;
4. SKBKBT; atau
5. STB.(2) Pengurangan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat dilakukan dalam hal:
1. terdapat ketidakbenaran atas:
1) luas objek pajak bumi dan/atau bangunan;
2) Nilai Jual Objek Pajak bumi dan/atau bangunan; dan/atau
3) penafsiran peraturan perundang-undangan PBB,
pada SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
2. terdapat ketidakbenaran atas:
1) Nilai Perolehan Objek Pajak; dan/atau
2) penafsiran peraturan perundang-undangan BPHTB,
pada SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB.(3) Pembatalan SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat dilakukan apabila SPPT, SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut seharusnya tidak diterbitkan.
Pasal 4
(1) Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a harus memenuhi persyaratan:
1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SKP PBB; STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau STB;
2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya sanksi administrasi yang dimohonkan pengurangan atau penghapusan disertai alasan yang mendukung permohonannya;
3. diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama;
4. dilampiri fotokopi SKP PBB, STP PBB, SKBKB, SKBKBT, atau STB, yang dimohonkan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
5. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan, atau mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya, atas SKP PBB, SKBKB, atau SKBKBT, dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan adalah sanksi administrasi yang tercantum dalam SKP PBB, SKBKB, atau SKBKBT;
6. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, mengajukan keberatan namun tidak dapat dipertimbangkan, atau mengajukan keberatan kemudian mencabut keberatannya, atas SPPT atau SKP PBB yang terkait dengan STP PBB, dalam hal yang diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan adalah sanksi administrasi yang tercantum dalam STP PBB;
7. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar yang menjadi dasar penghitungan sanksformulir seperti apa yah
bg mau nanya, apakah di satu kpp pratama mempunyai data yg mencakup untuk satu kanwil?
misal, data seluruh wp badan di sumbar ada gak di kpp pratama padang?
maksih bg- Originaly posted by NAANI:
bg mau nanya, apakah di satu kpp pratama mempunyai data yg mencakup untuk satu kanwil?
misal, data seluruh wp badan di sumbar ada gak di kpp pratama padang?
maksih bgdobel posting