Forum Ortax › Forums › PPh Badan › Kerja Sama Operasi (KSO) Bisnis Jasa Hotel
Kerja Sama Operasi (KSO) Bisnis Jasa Hotel
Kami, ada rencana mendirikan sebuah KSO antara 2 Perusahaan lokal (dalam negeri) untuk pengelolaan sebuah hotel di daerah Bandung;
PT. A dan PT. B dengan membentuk KSO (Kerjasama Operasi) atau di sebut Joint Operation A-B.
Joint Operation ini adalah KSO antara 2 Perusahaan:
-PT. A dengan nilai penyertaan asset/Modal 70% – Pemilik Asset Utama
-PT. B dengan nilai penyertaan asset/Modal 30% – Operator/Pengelola HotelPertanyaannya:
1. Sebuah KSO apakah wajib memiliki NPWB untuk KSO itu sendiri? Berikut hingga Pembukaan rekening atas nama KSO A-B ? Atau dapatkan di lakukan pembukaan pada PT. B sebagai Pengelola dengan menggunakan segala urusan perpajakan yang terkait atas nama PT. B , sebagai Pengelola Hotel Tersebut?2. Sebuah KSO dengan NPWB di masing- masing Perusahaan apakah dapat di didirikan?
3. Pada Perjanjian KSO, ada nilai bagi hasil atas Laba Bersih dengan porsi sesuai penyertaan asset 70:30. Apalah Pajak Pendapatan atas Laba bersih hasil dari Pengelolaan KSO A-B ini di bayarkan oleh masing-masing Perusahaan atau di haruskan di Pajak-Kan terlebih dahulu sebelum di bagikan sebagai Deviden?
4. Untuk pembagian "Revenue Sharing" yang di ambil atas nilai Omzet Setelah di potong pajak PB1. Dimana PT. B selaku pengelola memberikan income atas Revenue Sharing pada Pemilik ke PT. A. PPH apakah yang di kenakan atas pembagian Revenue Sharing atas omzet tersebut?
5. Untuk mendirikan sebuah KSO apakah di awajibkan mendirikan Akte KSO secara legal, atau dapatkah di jalankan hanya dengan Menggunakan Kertas Kerjasama yang di tanda tangani oleh kedua belah Perusahaan berdasarkan prinsip Bagi Hasil.
Terima kasih atas masukannya.
Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Jasa Konstruksi
Ruston Tambunan, Ak, M.Si, M. Int. Tax – Citas Konsultan Global (CITASCO), 26 Juli 2007Ketidakpastian Atas Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) Dalam Bidang Usaha Jasa Konstruksi
Pendahuluan
Pengertian JO dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut bahwa JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek. Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.
Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO.
a. Administrative JO
Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.
b. Non-Administrative JO
JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Atas JO
Kecuali reksadana, penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara spesifik menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.
a. Aspek PPh – Administrative JO.
Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21/ pasal 23/ pasal 26/ pasal 4 ayat 2). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.
Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak dapat mengkreditkan PPh pasal 23 yang dipotong oleh Project Owner pada saat pembayaran uang muka dan termin. Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh pasal 23 tersebut sebagai kredit pajak, maka Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti potong sebagai berikut:
1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan atau pemotongan PPh pasal 23, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong kepada Project Owner yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh pasal 23 atas nama JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.
2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 23 atas nama JO, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 23 kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian melalui proses pemindahbukuan masing-masing anggota JO dapat mengkreditkan PPh pasal 23 tersebut.
Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 juncto KEP-161/PJ/2001 mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.
b. Aspek PPh Non-Administrative JO
Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).
Perlakuan PPN Atas JO
Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.
Inkonsistensi Beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan Atas JO Menimbulkan Ketidakpastian
SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satu-satunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja â€tidak selalu†dapat menjadi acuan umum.
Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat dalam beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.
S-752/PJ.52/1990
Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan ditandatangani antara Project Owner dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi PKP atau tidak. Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan masing-masing anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib memiliki NPWP. Dalam hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal form).
S-823/PJ.312/2002
Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO. Frase â€secara nyata-nyata†menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi (substance). Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-nya. Bisa jadi sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal kontrak pekerjaan ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila kenyataannya proyek dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota sesuai scope pekerjaan yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya JO tidak harus menjadi PKP. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus dan Wajib Pajak, antar Wajib Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri. Jelas dalam hal ini Surat Dirjen Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan Surat No. S-752/PJ.52/1990.
S-956/PJ.53/2005
Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota JO melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :
JO dan anggota JO harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak
Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.
Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.
Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada JO. Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.Perlakuan tersebut malah mengacaukan konsep JO sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan sepertinya mencampuradukkan Administrative JO dan Non-Administrative JO. Keharusan JO menjadi PKP dan kewajiban melaporkan PPN yang dipungut atas nama JO dalam SPT Masa PPN adalah merupakan karakteristik dari Administrative JO. Selanjutnya anggota JO yang melaksanakan pekerjaan atas nama JO tetapi diharuskan juga membuat Faktur Pajak kepada JO seolah-olah masing-masing anggota JO mengerjakan sendiri scope pekerjaannya adalah merupakan ciri Non-Administrative JO.
Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal 23. JO akan memotong PPh pasal 23 atas setiap pembayaran tagihan yang diajukan oleh masing-masing anggota JO. Selanjutnya pihak Project Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas tagihan dari JO yang pada hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan yang diajukan oleh anggota JO kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh pasal 23 atas penghasilan yang sama.
Kesimpulan
Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama operasi saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over substance dalam pemajakan JO
Mohon maaf, mencoba menjawab :
Dasar hukum :
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
6 Desember 1989SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 323/PJ.42/1989TENTANG
MASALAH PERPAJAKAN BAGI JOINT OPERATION
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara tanggal 15 Nopember 1989 nomor : XXX perihal permasalahan yang
menyangkut joint operation, bersama ini diberikan penjelasan mengenai hal-hal sebagai berikut :1. Bentuk joint operation adalah merupakan perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk
menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat sementara sampai proyek tersebut selesai.2. Bentuk penggabungan demikian bukanlah merupakan subyek dari pengenaan PPh Badan, namun
pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan
yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.3. Pemberian NPWP terhadap joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan
pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN.4. Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terhutang untuk Badan-badan
tersebut, pembukuan yang terpisah dari masing-masing Badan yang bergabung dalam joint operation
dapat dilakukan.
Ketentuan ini juga mencakup dan berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar
negeri.5. Mengenai permohonan pemusatan PPh Pasal 21 agar dilakukan pada KPP Badan dan Orang Asing,
Saudara dapat mengajukan permohonan tersebut secara khusus kepada Kantor Pusat Direktorat
Jenderal Pajak.Demikian penjelasan yang dapat kami berikan, agar Saudara dapat memaklumi.
A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PAJAK PENGHASILANttd
Drs. WAHONO
Mohon maaf, mencoba menjawab :
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
22 April 1994SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 60/PJ.422/1994TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS JOINT OPERATION
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Berkenaan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 28 Maret 1994 perihal perlakuan perpajakan atas
Joint Operation, dengan ini diberikan penjelasan bahwa Joint Operation bukan merupakan subjek pajak.
Oleh karena itu Joint Operation tidak berkewajiban untuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal
25 serta PPh Pasal 29, sedangkan kewajiban yang ada hanya sebagai wajib pajak pemotong/pemungut PPh
Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atau PPN.Untuk PPh Pasal 22 yang telah dipungut oleh pihak lain dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang dari
masing-masing anggota Joint Operation melalui pemindah bukuan seperti yang di atur dalam SE-26/PJ.9/1991
tanggal 25 Oktober 1991, sesuai dengan bagian yang telah ditentukan dalam perjanjian Joint Operation.Demikian untuk dimaklumi.
A.N. DIREKTUR JENDERAL PAJAK
DIREKTUR PAJAK PENGHASILANttd
ISMAEL MANAF
Mohon maaf, mencoba menjawab :
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
24 Oktober 2002SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 823/PJ.312/2002TENTANG
PERMOHONAN PENJELASAN TENTANG PERPAJAKAN DALAM HAL JOINT OPERATION
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor xxxx tanggal 14 Mei 2002 perihal tersebut di atas, dengan ini
disampaikan hal-hal sebagai berikut :1. Dalam surat tersebut antara lain dijelaskan bahwa :
a. PT TSRT, NPWP xx.xxx.xxx.x-xxx.xxx bergerak dalam bidang General Construction, akan
bekerja sama dengan perusahaan Luar Negeri dengan data sebagai berikut :
1) Nama perusahaan : SAP CO.LTD.
2) Join Operation untuk Proyek Pemerintah RI
3) Lama Join Operation : 3 Th
4) Komposisi saham : 30%,70%
5) Pembagian keuntungan : Sesuai komposisi saham
b. SAP Co. Ltd tidak mempunyai kantor perwakilan di Indonesia dan tidak ada hubungannya
dengan kepemilikan saham PT TSRT.
c. Saudara mohon penjelasan serta persyaratan dan kewajiban apa saja untuk melaksanakan
perpajakan di Indonesia.2. Pajak Penghasilan
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum,
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
16 Tahun 2000 (UU KUP), yang dimaksud dengan Badan adalah sekumpulan orang dan atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan Usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan
lainnya.
b. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh),
yang menjadi Subjek Pajak antara lain adalah badan.
c. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa:
1) Joint Operation (JO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang
sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek
tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian JO bukan merupakan Subjek Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan
PPh atas penghasilan dari proyek tersebut dikenakan pada masing-masing badan
anggota JO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya.
2) Kewajiban pajak lainnya yang ada pada JO adalah sebagai Wajib Pajak pemotong/
pemungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 serta PPN.3. Pajak Pertambahan Nilai
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa, kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, diatur
bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-undang PPN.
b. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan
pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian badan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerja
sama operasi.
c. Sesuai dengan butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-19/PJ.53/1996 tanggal
4 Juni 1996 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dalam
Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Hibah/Dana Pinjaman Luar
Negeri ditegaskan bahwa dalam hal proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah/ dana
pinjaman luar negeri dikerjakan oleh kontraktor utama yang merupakan JO, maka berlaku
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1) JO dan anggota JO harus terclaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada pemilik
proyek tidak dipungut PPN, namun Faktur Pajak tetap harus dibuat oleh JO dengan
diberi cap "PPN dan PPn BM tidak dipungut".
3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada
JO, terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada JO. Bagi
anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO, PPN
tersebut merupakan Pajak Masukan.
4) Atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO tetap
terutang PPN yang dapat merupakan Pajak Masukan bagi anggota JO tersebut.
d. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa:
1) JO (bentuk kerja sama operasi) merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN.
2) Apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas
nama JO, maka JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP, yaitu
melaporkan diri untuk dikukuhkan menjadi PKP, memungut, menyetor, dan
melaporkan penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang melalui Surat Pemberitahuan
Masa PPN.
3) Apabila seluruh transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas
nama masing-masing anggota JO, sedangkan JO hanya untuk koordinasi dan secara
nyata-nyata tidak melakukan transaksi penyerahan BKP/JKP kepada pihak lain, maka
yang memiliki kewajiban-kewajiban sebagai PKP hanya anggota JO.
4) Jika JO merupakan kontraktor utama dalam proyek pemerintah yang dibiayai penuh
dengan hibah/dana pinjaman luar negeri maka atas penyerahan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada pemilik proyek tidak dipungut PPN dan Faktur
Pajak yang diterbitkan oleh JO harus diberi cap "PPN dan PPnBM tidak dipungut".Demikian agar Saudara maklum.
A.n. Direktur Jenderal
Direktur,ttd.
IGN mayun Winangun
NIP 060041978Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Direktur Pajak Penghasilan;
3. Direktur PPN & PTLL.