Forum Ortax › Forums › PPh Pemotongan/Pemungutan › Apakah Surat (S) bisa dijadikan acuan?
Apakah Surat (S) bisa dijadikan acuan?
Dear Ortaxers..
Sehubungan dengan Pemotongan PPh 23 yang 2% dari Penghasilan Bruto perusahaan kami (periklanan) jg dipotong 2%. Kami mengajukan komplain ke Pemberi penghasilan dengan menunjukkan Surat DJP ke salah satu perusahaan yg sejenis yg menyatakn bahwa jika memenuhi syarat tertentu maka dipotong hanya dari Fee nya saja. Apakah Surat tsb bisa dijadikan Acuan?. Tqsmenurut aku hanya untuk perbandingan saja, ga boleh sebagai dasar hukum,
da yang lain, monggo . . . . .
bravo ortax
dalam Hirarki perundang – undangan setahu saya SE ( Surat Edaran ) dapat dijadikan dasar dalam penerapan perpajakan yang berlaku.sekian dan trim kasih
Kalo menurut saya, bergantung dalam kedudukan sebagai apa yang menerbitkan surat tsb. Misal sebagai Ka KPP, Direktur, atau Dirjen. Memang tidak semua bisa di-SE-kan, yaitu dalam hal kasus khusus/sangat jarang terjadi.
Jadi menurut saya surat yg diterbitkan setingkat Dirjen atau Direktur, bisa dijadikan "jurisprodensi"
Contoh kasus :
Misal WP A mengajukan pertanyaan berapakah 2 + 2 ?
Dijawab Dirjen bhw 2 + 2 = 4. Dengan demikian WP A punya dasar rujukan.
Kemudian WP B juga punya pertanyaan berapakah 2 + 2 ? Apakah harus bikin surat lagi ke Dirjen ?Bukan SE rekan2, tetapi "S". Si pemberi penghasilan meminta perusahaan kami juga mengajukan surat yg sama dengan harapan mendapat jawaban yang sama atau setidaknya mirip sehingga mereka juga akan aman jika hanya memotong dari Fee. Yang saya maksud dengan DJP adalah KPP setempat. Tq.
- Originaly posted by begawan5060:
bisa dijadikan "jurisprodensi"
Maaf salah tulis…. katrok sih… maksud saya "yurisprudensi"
- Originaly posted by lingling:
Bukan SE rekan2, tetapi "S". Si pemberi penghasilan meminta perusahaan kami juga mengajukan surat yg sama dengan harapan mendapat jawaban yang sama atau setidaknya mirip sehingga mereka juga akan aman jika hanya memotong dari Fee. Yang saya maksud dengan DJP adalah KPP setempat. Tq.
Surat DJP yang sifatnya Private Rulling tidak dapat dijadikan sebagai rujukan, dan biasanya pihak KPP tidak mau menerima. Makanya untuk S kita hanya jdikan sebagai referensi dan bahan argumentasi saja.
Biar lebih aman, rekan lingling ajukan saja Surat ke DJP, jawabannya nanti bisa dijadikan pegangan baik utk lawan transaksi maupun KPP.
Saran saya utk DJP, Agar tidaj terjad dispute sebaiknya Surat2 yang menjawab pertanyaan serupa di SE-kan saja.
OOOO gitu, dikira saya SE, kalau surat biasa sih, nggak bisa dijadikan acuan, karena dalam hireraki UU, SE Adalah perangkat atau dasar acuan UU yang paling rendah.
- Originaly posted by lingling:
Yang saya maksud dengan DJP adalah KPP setempat. Tq.
Kalo hanya setingkat Ka KPP, maka "surat" tsb hanya berlaku dalam yurisdiksi KPP tsb.
Seandainya kami mengajukan surat tersebut berapa lama ya kira2 akan dijawab. Apakah jika tidak dijawab dalam jangka waktu tertentu (misalnya 12 bulan) berarti jawabannya adalah dikabulkan (sebagaimana permohonan restitusi atau keberatan)? Terus sembari menunggu jawaban tersebut bagaimana dengan tagihan kami tersebut? Apakah dipotong dulu 2% dari Bruto (aman di pemberi penghasilan) atau dipotong 2% dari Fee (aman di perusahaan kami, kurang aman di costumer)???. Thanks
- Originaly posted by lingling:
Seandainya kami mengajukan surat tersebut berapa lama ya kira2 akan dijawab. Apakah jika tidak dijawab dalam jangka waktu tertentu (misalnya 12 bulan) berarti jawabannya adalah dikabulkan (sebagaimana permohonan restitusi atau keberatan)?
Jangka Waktu DJP ut menjawab Surat tidak ada batasannya, kecuali utk pengajuan permohonan seperti restitusi atau keberatan. Sering2 di follow up aja.
Originaly posted by lingling:Terus sembari menunggu jawaban tersebut bagaimana dengan tagihan kami tersebut? Apakah dipotong dulu 2% dari Bruto (aman di pemberi penghasilan) atau dipotong 2% dari Fee (aman di perusahaan kami, kurang aman di costumer)???. Thanks
Belum bisa memberikan saran karena belum jelas duduk persoalannya.
Ada satu Surat yang mungkin bisa dijadikan counter oleh pihak pemberi penghasilan yaitu S – 257/PJ.313/2004 Tentang PERLAKUAN PPh ATAS PERUSAHAAN JASA PERIKLANAN. Di Surat itu dijelasknan :1. Atas penghasilan dari jasa pembuatan materi iklan yang diterima oleh perusahaan periklanan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 40% atau 6% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN;
2. Atas penghasilan dari jasa pemasangan iklan yang diterima oleh perusahaan media tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23, melainkan terutang pajak pada akhir tahun melalui SPT Tahunan;
3. Atas penghasilan dari jasa koordinasi pembuatan materi iklan dan pemasangannya di media yang diterima oleh perusahaan periklanan (dalam hal ini PT A) tidak dapat dikategorikan sebagai imbalan jasa perantara, karena peran PT A tidak semata-mata mempertemukan pihak perusahaan periklanan dan pihak perusahaan media melainkan juga memberikan advis secara profesional untuk peningkatan mutu produk iklan dan mempunyai posisi negosiasi yang lebih besar. Oleh karena itu jasa koordinasi tersebut dikategorikan sebagai jasa konsultan periklanan dan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15% x 50% atau 7,5% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
saudara Lingling, kronologisnya atas transaksi itu gimana sih, karena Apakah dipotong dulu 2% dari Bruto atau dipotong 2% dari Fee ????
Rekan Edi Suryadi…
Kronologisnya adalah sbb:
Kami diberi order oleh PT. A untuk memasang iklan di Media. Trus kami memasang iklan tsb di Koran X. Setelah Iklan tsb tayang lanjutnya Koran X menagih kami sebesar Rp 1jt. Kami lalu meneruskan tagihan tersebut ke PT. A ditambah Fee kami sebesar Rp 21rb (dua puluh satu ribu rupiah saja) sehingga total tagihan adalah 1jt + 21 rb = Rp 1.021.000. Oleh PT. A tagihan kami dibayar sebesar 1.021.000 dikurang 2% dari 1.021.000. Sedangkan kami ngotot minta dipotong 2% dari Rp 21 rb. Bisa dibayangkan, hasil kami jadi negatif!!!! dengan Peraturan baru ini.