Forum Ortax › Forums › PPh Pemotongan/Pemungutan › Tax treaty Singapura
Tax treaty Singapura
Dear all rekan Ortax,
mohon dibantu, jika saya mendapat invoice dari Singapura untuk Sewa atau Jasa lainnya apakah wajib dipotong PPh 26 dg tarif 20%?
saya pernah mendengar, jika Pemberi Jasa dari Singapura itu mempunyai Certificate of Domicile (COD), tarif 20% itu tidak perlu diterapkan?
adakah peraturan yg mengatur hal ini?
terima kasih sebelumnya…- Originaly posted by reni_risawati:
saya pernah mendengar, jika Pemberi Jasa dari Singapura itu mempunyai Certificate of Domicile (COD), tarif 20% itu tidak perlu diterapkan?
adakah peraturan yg mengatur hal ini?SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 993/PJ.342/2004TENTANG
PEMOTONGAN PPh PASAL 26 ATAS IMBALAN JASA KEPADA XYZ
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 07 September 2004 perihal tersebut di atas, dengan
ini kami sampaikan hal-hal berikut ini :1. Dalam surat tersebut Saudara menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
a. PT PQR (selanjutnya disebut sebagai PT ABC) memanfaatkan jasa XYZ (perusahaan
Singapura) untuk menjadi perantara dalam penjualan 'pulp' di Indonesia sebagaimana
tercantum dalam lampiran Letter of Agreement. Atas jasa tersebut PT ABC telah membayar
"marketing fee" pada XYZ dan memotong serta memungut PPh Pasal 26 dengan tarif 15%
sepanjang tahun 2002 dan 2003.
b. Persetujuan kerjasama antara PT ABC dan XYZ dilakukan dalam dua tahap, yang pertama
berlaku mulai 7 Januari – 31 Desember 2002, dengan XYZ sebagai agen pemasaran dan
perdagangan "pulp" yang ditunjuk oleh PT ABC, selanjutnya PT ABC membayar XYZ,
"marketing fee" pada tahun 2002 sebesar Rp. 2.055.875.821,00, serta mengenakan PPh Pasal
26 sebesar 15% atau sejumlah Rp. 308.381.373,00.
c. Persetujuan kedua antara PT ABC dan XYZ berlaku mulai 1 Januari – 31 Desember 2003,
dengan PT ABC sebagai agen perdagangan yang ditunjuk oleh XYZ, namun PT ABC masih
melakukan pembayaran "marketing fee" atas kontrak kedua tersebut pada tahun 2003
sebesar Rp. 411.065.360,00, serta mengenakan PPh Pasal 26 sebesar 15% atau sejumlah
Rp. 61.659.804,00.
d. XYZ berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Singapura
mengajukan restitusi terhadap pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 15% atas imbalan jasa
yang dibayar oleh PT ABC pada tahun 2002 dan tahun 2003.
e. Saudara meminta penegasan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas
pembayaran "marketing fee" PT ABC kepada XYZ.2. Pajak Penghasilan Pasal 26 :
Pasal 26 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 17 Tahun 2000 mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. Pasal 26 ayat (1) :
"Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang
dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan :
a. dividen;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya."b. Pasal 26 ayat (4) :
"Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia
dikenakan pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan."c. Pasal 26 ayat (5):
"Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) bersifat
final, kecuali :
a. pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
dan huruf c;
b. pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha
tetap."3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Singapura :
a. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) huruf i P3B Indonesia-Singapura, sebagai berikut :Article 5 Paragraph 2 (i)
The term of "permanent establishment" shall include especially :
"The furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through an
employee or other person (other than an agent of an independent status within the meaning
of paragraph 7) where the activities continue within a Contracting State for a period or periods
aggregating more than 90 days within a twelve month period".Berdasarkan Pasal 5 ayat (7) P3B Indonesia-Singapura diatur hal-hal sebagai berikut :
Article 5 paragraph 7
"An enterprise of a Contracting State Shall not be deemed to have a permanent establishment
in the other Contracting State merely because it carries on business in that other state through
a broker, general commision agent or any other agent of an independent status, where such
persons are acting in the ordinary course of their business.However, when the activities of such an agent are devoted wholly or almost wholly on behalf
of the enterprise, he shall not be considered an agent of an independent status within the
meaning of this paragraph."b. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996
tentang Penerapan P3B antara lain mengatur sebagai berikut :
a) Butir 2 huruf a dan b :
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili
(SKD) kepada pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi
SKD tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang
membayarkan penghasilan terdaftar. SKD asli tersebut menjadi dasar bagi pihak
yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan PPh Pasal 26 sesuai ketentuan
yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia dengan negara tempat
kedudukan WPLN tersebut.
b) Butir 3 huruf a :
SKD diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di negara mitra
runding. Namun demikian, SKD yang dibuat oleh pejabat pada Kantor Pelayanan
Pajak tempat WPLN yang bersangkutan terdaftar dapat diterima dan dipersamakan
dengan SKD yang dibuat Competent Authority.4. Permohonan restitusi atas PPh Pasal 26 yang tidak seharusnya dipotong atau dipotong di atas tarif
yang seharusnya dapat dilakukan jika memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Republik Indonesia dengan
negara tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan;
b. Memenuhi ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal
29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Pajak Berganda (P3B), antara lain :
1) Menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang berkedudukan
di Indonesia yang membayar penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat pihak yang membayar
penghasilan terdaftar. SKD tersebut diterbitkan oleh Competent Authority atau
wakilnya yang sah di negara treaty partner;
2) Bahwa sesuai dengan ketentuan dalam P3B, atas jasa yang dilakukan di luar negeri
oleh penduduk negara treaty partner, Indonesia tidak dapat mengenakan PPh atas
imbalan jasa tersebut.
c. Melakukan permohonan restitusi sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-09/PJ.10/1994 tentang Restitusi Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan
dengan Ketentuan Dalam P3B, antara lain :
1) Permohonan dilakukan secara tertulis oleh penerima pembayaran atau pihak lain
yang diberi kuasa kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong pajak
terdaftar, dengan menggunakan bentuk yang telah ditentukan dalam lampiran
SE-09/PJ.10/1994, yang dilengkapi dengan nomor rekening bank kemana kelebihan
pembayaran pajak dipindahkan;
2) Permohonan dilampiri dengan Surat Keterangan Tarif (SKT) atau Surat Keterangan
Bebas (SKB) atas objek pajak yang diajukan restitusinya;
3) Dalam hal tidak ada SKT atau SKB, permohonan tersebut dilampiri :
a) Surat Keterangan yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang/
competent authority dari negara treaty partner, yang menyatakan bahwa
pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan tersebut pada saat
penghasilan diterima betul-betul Wajib Pajak dalam negeri di negara treaty
partner yang bersangkutan;
b) Surat Kuasa (Power of Attorney) yang khusus untuk pengurusan restitusi
tersebut, yang harus bermeterai cukup atau telah dilunasi dengan
pemeteraian kemudian oleh Pejabat Pos, apabila pengurusan restitusi
tersebut dilakukan oleh pihak lain;
c) Bukti pemotongan PPh Pasal 26 asli yang dikeluarkan oleh pemotong pajak;
d) Dokumen pendukung yang berkaitan dengan jenis pembayaran jasa:
i. Letter of Agreement;
ii. Surat pernyataan dari Wajib Pajak luar negeri tersebut bahwa
perusahaannya tidak mempunyai tempat usaha (fixed place of
business) tertentu di Indonesia, dan;
iii. Surat pernyataan dari pihak penerima jasa yang menyatakan bahwa
jasa tersebut diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari jangka
waktu yang ditetapkan (time test) dalam P3B antara RI dengan
negara treaty partner yang bersangkutan.5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Sepanjang jasa yang diberikan oleh XYZ adalah jasa pemasaran yang dilakukan di wilayah
Indonesia dan dilakukan selama lebih dari 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka XYZ
harus ditetapkan secara jabatan oleh KPP sebagai badan asing yang mempunyai bentuk
usaha tetap (permanent establishment) di Indonesia., hak pemajakan atas jasa pemasaran
yang diberikan oleh XYZ kepada PT ABC, dilakukan di Indonesia. Terhadap pembayaran
"marketing fee" 5. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
a. Sepanjang jasa yang diberikan oleh XYZ adalah jasa pemasaran yang dilakukan di wilayah
Indonesia dan dilakukan selama lebih dari 90 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka XYZ
harus ditetapkan secara jabatan oleh KPP sebagai badan asing yang mempunyai bentuk
usaha tetap (permanent establishment) di Indonesia., hak pemajakan atas jasa pemasaran
yang diberikan oleh XYZ kepada PT ABC, dilakukan di Indonesia. Terhadap pembayaran
"marketing fee" tahun 2002 antara PT ABC ke XYZ (BUT yang ditetapkan oleh KPP) terutang
PPh Pasal 23, dan pembayaran antara XYZ (BUT) kepada perusahaan Induknya, XYZ
Singapura, terutang PPh Pasal 26 sebagai branch tax profit dengan tarif sebesar 15% sesuai
P3B Indonesia-Singapura;
b. Sesuai dengan Pasal 5 ayat 7 P3B Indonesia-Singapura sebagaimana tersebut di atas, XYZ
tidak akan dianggap memiliki suatu bentuk usaha tetap di Indonesia sepanjang perusahaan
tersebut menjalankan usahanya melalui seorang makelar, komisioner atau setiap agen
independen, selama pihak-pihak tersebut bertindak bebas. Dalam hal kegiatan PT ABC,
selaku agen dari XYZ, secara keseluruhan atau sebagian besar diperuntukkan bagi
kepentingan XYZ, maka PT ABC bukan merupakan agen yang independen, dan dianggap
sebagai BUT.
c. Ketentuan dalam P3B antara Pemerintah RI dan Singapura tersebut hanya akan berlaku
apabila XYZ dapat menunjukkan Surat Keterangan Domisili (SKD) dari pejabat berwenang
Singapura yang menerangkan bahwa pada tahun 2002 dan 2003 XYZ merupakan penduduk
Singapura. Apabila XYZ tidak dapat menyerahkan SKD dimaksud, maka atas penghasilan jasa
tersebut dikenakan PPh Pasal 26;Demikian untuk menjadi maklum.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,ttd
HERRY SUMARDJITO
salam
rekan junjungan,
berarti, jika WPLN itu tdk punya COD, berarti kena tariff 20%
sedangkan jika WPLN tsb punya COD, hanya kena tariff 10%sewa itu termasuk active income atau passive income ?
- Originaly posted by reni_risawati:
berarti, jika WPLN itu tdk punya COD, berarti kena tariff 20%
benar, jika jasa pemasaran yg dilakukan WPLN tsb tidak melebihi 90 hari (time test) di Indonesia
Namun, jilka melebihi time test, maka menjadi objek pemotongan pasal 23 (tarif 2%) , pemotongan pph dilakukan setelah WPLN tsb berubad status menjadi badan asing yg mpy bentuk BUT di Indonesia.Originaly posted by reni_risawati:sedangkan jika WPLN tsb punya COD, hanya kena tariff 10%
bukan demikian, dg adanya cod tsb hak pemajakan sepenuhnya berada di s'pore pabila jasa yang diberikan di Indonesia tidak melebihi 90 hari (time test)
jika melebihi time test, WPLN tsb dianggap sbg BUT dan ph.nya menjadi objek pemotongan pasal 23salam