Forum Ortax › Forums › PPh Pemotongan/Pemungutan › NPWP siapa yang dipakai
NPWP siapa yang dipakai
NPWP yang dipakai pada SSP pasal 23 adalah NPWP siapa.
NPWP bendahara ato NPWP Rekanan….
terus kalo pakek NPWP bendahara, Peraturanyya apa, terus gimana pelaporan SPT masanya ???????Prosedurnya sama dengan SSP PPN, kolom NPWP, Nama WP rekanan, dan alamat diisi identitas rekanan. kolom tempat, tanggal dan tandatangan diisi oleh pemungut. PElaporannya oleh pihak pemungut. CMIIW
isinya pakai NPWP rekanan.
kl rekanan tidak punya NPWP, isi paka NPWP bendahara, tapi tarifnya kena 2x lipat dari tarif normal.
yang lapor bendahara.
- Originaly posted by bsn:
kl rekanan tidak punya NPWP, isi paka NPWP bendahara
??
- Originaly posted by juni:
??
kl rekanan yang bertransaksi dengan bendahara pemerintah tidak punya npwp (bukan PKP), atau rekanan PKP, tp tidak mencantumkan npwp nya,
maka bendahara bisa tetap lapor dan motong pph 23, dengan cara di kolom npwp dan nama wp di isi dengan npwp dan nama bendahara.
besar pajak yang di potong menjadi 2 kali lipat dari tarif normal, yaitu 200% x 2% = 4%
Saya kira tidak pernah ada kasus rekanan yang tidak memiliki NPWP. dgn proses penunjukkan langnsung sekalipun. CMIIW
- Originaly posted by sensiganma:
Saya kira tidak pernah ada kasus rekanan yang tidak memiliki NPWP. dgn proses penunjukkan langnsung sekalipun. CMIIW
justru banyak sekali rekan sensiganma, penyebabnya banyak, bisa karena ketidaktahuan bendahara, bisa juga karena kesalahan rekanan
Masalahnya yang membuat SSP itu kan pihak rekanan sendiri.
teorinya emang gitu rekan sensiganma,
namun dalam prakteknya, biasanya ssp juga dibuat oleh bendahara pemerintah, sehingga sering terjadi kesalahan seperti itu
Bendaharawan tuh kadang suka ngawur. 🙂 mau gmana lagi daripada g dikasih lagi proyek. hehe
- Originaly posted by Syufriadiaja:
NPWP yang dipakai pada SSP pasal 23 adalah NPWP siapa.
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE – 08/PJ.4/1995TENTANG
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DALAM NEGERI YANG DITUNJUK SEBAGAI PEMOTONG PPh PASAL 23.
(SERI PPh PASAL 23/26 – 3)DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan telah ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995 tanggal 31 Januari 1995 tentang Perkiraan Penghasilan Neto yang digunakan sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan dan jenis jasa lain yang atas imbalannya dipotong Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dengan ini diberikan penegasan sebagai berikut :
1. Dalam Pasal 1 jo. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-50/PJ/1994 ditetapkan bahwa Akuntan, Arsitek, Dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, Pengacara, dan Konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas, serta orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa. Yang dimaksud dengan konsultan adalah orang pribadi yang melakukan atau memberikan konsultasi sesuai dengan keahliannya seperti konsultan hukum, konsultan pajak, konsultan teknik dan konsultan di bidang lainnya.
2. Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c, besarnya pemotongan PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa adalah sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto. Dalam Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-10/PJ/1995, tanggal 31 Januari 1995, ditetapkan bahwa besarnya perkiraan penghasilan netto untuk
* Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh WP orang pribadi dalam negeri adalah sebesar 80% dari jumlah bruto. Dengan demikian maka besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% x 80% x jumlah bruto = 12% x jumlah Dalam pengertian jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
* Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang diterima atau diperoleh oleh WP badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) adalah sebesar 40% dari jumlah bruto. Dengan demikian maka besarnya pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% x 40% x jumlah bruto = 6% x jumlah bruto.
Dalam pengertian jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud pada butir 1 sebagai pemotong PPh Pasal 23 dengan menggunakan bentuk formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Surat Edaran Ini. Bagi akuntan, arsitek, dokter, notaris, pengacara, dan orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan, yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-421/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991, tidak perlu ditunjuk kembali.
4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa yang dilakukan-nya, wajib memotong, menyetor dan melaporkan PPh Pasal 23 tersebut serta memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila dalam suatu bulan takwim terdapat objek PPh Pasal 23.
5. Kepada Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan agar diberikan penyuluhan mengenai hak dan kewajibannya sebagai pemotong PPh Pasal 23 berdasarkan ketentuan yang baru.
6. Terhitung mulai tanggal Surat Edaran ini, maka penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-31/PJ.43/1991 tanggal 27 Desember 1991 dinyatakan tidak berlaku.Demikian untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
FUAD BAWAZIER
salam
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 251/KMK.04/1995TENTANG
PERUBAHAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 606/KMK.04/1994
TENTANG PENENTUAN TANGGAL JATUH TEMPO PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK,
TEMPAT PEMBAYARAN PAJAK, TATA CARA PEMBAYARAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK,
SERTA TATA CARA PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK"Pasal 5
(1) Pemotong dan Pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, harus memberikan tanda bukti pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut dan khusus untuk karyawan atau pegawai tetap, hanya diberikan bukti pemotongan tahunan selambat-lambatnya dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
(2) Tanda bukti pemotongan dan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak."salam
Berdasarkan ketentuan diatas, sebagai pemotong pajak, Bendaharawan pemerintah ketika memotong PPh Pasal 23 harus memberikan bukti potong kepada rekanan, bukan SSP.
PPh 23 yang dipungut dalam satu bulan disetorkan oleh bendahrawan secara kolektif paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
SSP dibuat oleh bendahara atas nama bendahara dengan NPWP bendahara dan ditandatangani oleh bendahara.kendala yang timbul dalam pelaksanaan permintaan pencairan dana dan pertanggungjawaban oleh bendaharawan adalah pembuktian bahwa PPh 23 misalnya atas nama rekanan A yang disetor. bukti yang diminta biasanya adalah SSP atas nama rekanan tersebut sejumlah pajak yang sudah dipotong dan disetor.
masalah ini sebetulnya bisa diatasi untuk transaksi penunjukan langsung dengan cara membuat daftar PPh 23 yang telah dipotong dan disetor. Daftar bukti potong tersebut ibaratnya rincian dari isi SSP.
Masalah akan timbul pada saat transaksi tersebut menggunakan mekanisme LS.
pemotongan dan penyetoran pajak dilakukan oleh KPPN atau BUD. SP2D yang diajukan harus dilengkapi dengan SSP. disamping itu, pemotongan dan penyetoran PPh 23 tersebut biasanya dilakukan pada saat pembayaran kerekening rekanan.Makanya dalam praktek, untuk PPh 23 yang dipotong dan disetor, SSP yang dibuat oleh bendaharawan prosedurnya sama seperti PPh 22 dan PPN. Yakni, NPWP atas Nama Rekanan dan NPWP atas nama rekanan. penandatanganan dilakukan oleh bendaharawan sebagai justifikasi bahwa bendahara adalah pemotong pajak.
Idealnya, SSP pada mekanisme LS, masih bisa tetap atas nama Bendaharawan, NPWP Bendaharawan dan diandatangani bendaharawan. namun didalam SP2D tersebut juga dilampirkan bukti potong PPh 23 atas nama dan NPWP rekanan serta ditandatangani oleh bendahrawan.
Dengan demikian, bukti potonglah yang diberikan kepada rekanan, bukan SSP. satu hal lagi yang agak menyimpang dari cara ini adalah bahwa satu SSP dibuat untuk satu rekanan. idealnya satu SSP bisa untuk kolektif beberapa rekanan.Salam
Namun praktik di lapangan, beberapa pihak bendaharawan seringkali tidak menerbitkan bukti potong. sehingga SSP lah yang menjadi alat bukti pemotongan.