Forum Ortax › Forums › PPh Badan › Pajak Hotel & Restoran
yang saya ragu itu adalah bagaimana bila hotel yang membayarkan PHR tamunya, apakah boleh jadi biaya bagi hotel???
Rasanya kok tidak ya???Salam
Saya setuju dg Rekan Hanif dan penjelasannya…utk Pajak Pembangunan -1 namanya disingkat PB-1 bukan PP-1 dan sudah diganti menjadi PHR = Pajak Hotel dan Restauran.
Teriam aksih
Alhamdulilah, dari pencerahan dan jawaban rekan rekan rasanya pengetahuan pajak kita semakin luas, slamat malam pak Hanif, rekan Begawan dan semuanya
salam
Pajak Hotel dan Restoran, oleh beberapa Pemda di Indonesia masih memakai istilah PP-1, peraturan pemungutannya adalah sama dengan PPN, yaitu dipungut oleh Pengusaha dari para konsumen, merupakan pajak konsumsi yang tidak dapat dikreditkan oleh pembayarnya. Dengan demikian oleh pembayarnya/penanggung pajak langsung dibiayakan.
Persoalannya adalah bagaimana jika dibahas dari sisi Pengusaha Hotel dan Restoran ???
Jika ditinjau dari segi peraturannya, yaitu dibayar oleh konsumen melalui pemungutan oleh Pengusaha, maka Pajak Hotel dan Restoran (PHR, atau PP-1) bukan biaya bagi Pengusaha, melainkan merupakan Hutang Pajak Daerah ketika si Pengusaha menerima pembayaran dari konsumen dan saat menyetorkan pajak ke Pemda setempat merupakan pelunasan hutang pajak tersebut. Dengan demikian secara matematis PHR/PP-1 yang disetorkan selama setahun adalah sama dengan 10% dari peredaran brutonya (atau DPP-nya). Dalam penyajian laporan laba rugi tidak akan nampak “Beban PHR/PP-1â€, karena PHR/PP-1 yang dipungut dari konsumen diakui sebagai hutang pajak saat pemungutan dan diakui sebagai pengurang/pelunasan hutang pajak saat menyetorkan PHR/PP-1 ke Pemda.
Namun dalam prakteknya, terhadap Pengusaha Hotel dan Restoran kategori pengusaha kecil misalnya rumah makan dan warung makan, hotel non bintang (losmen), pemungutan PHR/PP-1 banyak yang tidak sesuai dengan peredaran bruto (istilahnya DPP-nya), karena masih banyak yang dikenai secara “lumpsum†oleh Petugas Pemda. Dalam arti mirip PPh Ps. 25, dengan terlebih dulu dilakukan survey dan ditaksir pendapatan sebulan sekian, maka PHR/PP-1 wajib disetorkan ke Pemda sebesar 10% dari taksiran pendapatan sebulan. Jika si Pengusaha merasa PHR/PP-1 tersebut terlalu tinggi karena usahanya mengalami penurunan, maka ia boleh mengajukan/menegosiasi kembali untuk minta penurunan kewajiban setor PHR/PP-1 tersebut.
Pengusaha yang dikenai PHR/PP-1 secara lumpsum pada umumnya juga tidak mencantumkan PHR/PP-1 (10%) dalam Nota Penjualan/Bill-nya. Dengan demikian seluruh peredaran bruto sudah termasuk PHR/PP-1.
Ilustrasi berikut akan memperjelas persoalan yang saya maksudkan :
Restoran A total penjualannya selama setahun Rp. 100 juta. Restoran A tidak mencantumkan PHR/PP-1 sebesar 10% dalam Nota Penjualan, sehingga harga jual/penggantian sudah termasuk PHR/PP-1. Setiap bulan ia diwajibkan menyetorkan PHR/PP-1 sejumlah lumpsum Rp. 600.000 ke Pemda setempat (setahun Rp. 7,2 juta). Dalam kasus ini tidaklah mungkin melakukan ekualisasi bahwa pajak yang disetorkan ke Pemda harus sama dengan 10% dari DPP-nya.
Untuk kasus Restoran A adalah tepat menyajikan laporan laba rugi sebagai berikut :
Pendapatan bruto setahun Rp. 100.000.000
Beban PHR/PP-1 …………….(Rp. 7.200.000)Tidak perlu khawatir jika dilakukan pemeriksaan oleh Fiskus(DJP), sepanjang kebenaran materiil (fakta) adalah demikian kejadian transaksinya, yaitu pendapatan restoran sudah termasuk PHR/PP-1 adalah Rp. 100 juta dan setoran PHR/PP-1 ke Pemda adalah Rp. 7,2 juta.
- Originaly posted by phoska:
Namun dalam prakteknya, terhadap Pengusaha Hotel dan Restoran kategori pengusaha kecil misalnya rumah makan dan warung makan, hotel non bintang (losmen), pemungutan PHR/PP-1 banyak yang tidak sesuai dengan peredaran bruto (istilahnya DPP-nya), karena masih banyak yang dikenai secara “lumpsum†oleh Petugas Pemda. Dalam arti mirip PPh Ps. 25, dengan terlebih dulu dilakukan survey dan ditaksir pendapatan sebulan sekian, maka PHR/PP-1 wajib disetorkan ke Pemda sebesar 10% dari taksiran pendapatan sebulan. Jika si Pengusaha merasa PHR/PP-1 tersebut terlalu tinggi karena usahanya mengalami penurunan, maka ia boleh mengajukan/menegosiasi kembali untuk minta penurunan kewajiban setor PHR/PP-1 tersebut.
Memang dalam prakteknya ada penentuan besarnya pajak restoran ditetapkan oleh petugas dispenda setempat, jadi walaupun omzetnya naik / turun pajak restoran yang dibayar tetap sama setiap bulannya, kebanyakan untuk usaha kecil.
Salam - Originaly posted by hanif:
yang saya ragu itu adalah bagaimana bila hotel yang membayarkan PHR tamunya, apakah boleh jadi biaya bagi hotel???
Rasanya kok tidak ya???
SalamSaya juga pikirkan, apa yang dikemukakan rekan hanif, kebetulan saya sedang menghadapi problem ini, pajak hotel & restoran ditangggung/dibayar oleh hotel, karena hal ini bisa saja terjadi, dengan pertimbangan agar harga dapat bersaing dan usaha hotel tersebut masih baru, jika sudah berjalan lama, mungkin bisa saja pajak2 tersebut dipungut.
Jika pajak hotel & restoran tersebut ditanggung/dibayar oleh hotel, bagaimana pencatatannya? apakah dapat dibebankan sebagai biaya ( deductible ) mohon sharing dari rekan-rekan ortax. Terima kasih, Salam. Pasal 6 ayat (1) huruf a :
Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.- Originaly posted by hanif:
2. Pencatatan Restoran B (mencatat PP-1 Bukan sebagai Beban)
Pada saat mencatat pendapatap restoran :
Kas (debet) Rp. 132.000
…… Pendapatan Restoran (kredit) Rp. 120.000
…… Hutang PP-1 (kredit) Rp. 12.000Pada saat menyetorkan PP-1 ke Pemda setempat :
Hutang PP-1 (debet) Rp. 12.000
……..Kas (kredit) Rp. 12.000artinya, bagi pengusaha hotel dan restoran tidak boleh jadi biaya. karena pengusaha hotel dan restoran hanya sebagai pemungut dan penyetor.
Saya tidak sependapat dengan statement ini :
Namun pencatatan akuntansi bisa menyajikan sebagai pengurang penghasilan bruto sepanjang penghasilan bruto yang dilaporkan termasuk PP-1.
ato ini :
1. Pencatatan Restoran A (mencatat PP-1 sebagai Beban)Pada saat mencatat pendapatan restoran :
Kas (debet) Rp. 132.000
…… Pendapatan Restoran (kredit) Rp. 132.000Pada saat menyetorkan PP-1 ke Pemda setempat :
Beban PP-1 (debet) Rp. 12.000
……..Kas (kredit) Rp. 12.000trus menurut pak hanif..
bagaimana jurnal dan pengakuan pendapatan yang benar??
mohon pencerahannya.. - Originaly posted by barca:
trus menurut pak hanif..
bagaimana jurnal dan pengakuan pendapatan yang benar??
mohon pencerahannya..Pada saat mencatat pendapatap restoran :
Kas (debet) Rp. 132.000
…… Pendapatan Restoran (kredit) Rp. 120.000
…… Hutang PP-1 (kredit) Rp. 12.000Pada saat menyetorkan PP-1 ke Pemda setempat :
Hutang PP-1 (debet) Rp. 12.000
……..Kas (kredit) Rp. 12.000Salam
- Originaly posted by hanif:
Pada saat mencatat pendapatap restoran :
Kas (debet) Rp. 132.000
…… Pendapatan Restoran (kredit) Rp. 120.000
…… Hutang PP-1 (kredit) Rp. 12.000Pada saat menyetorkan PP-1 ke Pemda setempat :
Hutang PP-1 (debet) Rp. 12.000
……..Kas (kredit) Rp. 12.000berarti dengan kata lain.. PHR yang dipungut oleh hotel ke konsumen tidak dapat dijadikan biaya donk ama hotelnya?? bukan gitu rekan hanif??
- Originaly posted by barca:
berarti dengan kata lain.. PHR yang dipungut oleh hotel ke konsumen tidak dapat dijadikan biaya donk ama hotelnya?? bukan gitu rekan hanif??
benar sekali rekan barca.
Sebab, fungsi pengusaha hotel dan restoran menurut saya hanyalah pemungut dan penyetor.
Jadi, kalau pengusaha hotel yang membayarkan pajak tamu, berarti kenikmatan untuk tamu. Konsekuensinya, bagi pengusaha hotel tidak boleh jadi biaya.Salam
- Originaly posted by kevink:
Originaly posted by hanif:
yang saya ragu itu adalah bagaimana bila hotel yang membayarkan PHR tamunya, apakah boleh jadi biaya bagi hotel???
Rasanya kok tidak ya???
SalamSaya juga pikirkan, apa yang dikemukakan rekan hanif, kebetulan saya sedang menghadapi problem ini, pajak hotel & restoran ditangggung/dibayar oleh hotel, karena hal ini bisa saja terjadi, dengan pertimbangan agar harga dapat bersaing dan usaha hotel tersebut masih baru, jika sudah berjalan lama, mungkin bisa saja pajak2 tersebut dipungut.
Jika pajak hotel & restoran tersebut ditanggung/dibayar oleh hotel, bagaimana pencatatannya? apakah dapat dibebankan sebagai biaya ( deductible ) mohon sharing dari rekan-rekan ortax. Terima kasih, Salam. - Originaly posted by hanif:
benar sekali rekan barca.
Sebab, fungsi pengusaha hotel dan restoran menurut saya hanyalah pemungut dan penyetor.
Jadi, kalau pengusaha hotel yang membayarkan pajak tamu, berarti kenikmatan untuk tamu. Konsekuensinya, bagi pengusaha hotel tidak boleh jadi biaya.Menurut saya, hal ini masih perlu pembahasan, karena menurut rekan begawan, berdasarkan pasal 6 (1 ) diatas dapat dibebankan sebagai biaya…..bagaimana rekan hanif?
- Originaly posted by kevink:
Menurut saya, hal ini masih perlu pembahasan, karena menurut rekan begawan, berdasarkan pasal 6 (1 ) diatas dapat dibebankan sebagai biaya…..bagaimana rekan hanif?
Menurut saya, Pasal 6 tersebut dilihat dari sudut pandang pengguna jasa hotel dan restoran. Misalnya, PT. A membayar pajak hotel dan restoran karena direksinya melakukan rapat kerja disebuah hotel. Pajak hotel dan restoran yang dibayar oleh PT. A tersebut boleh dijadikan sebagai biaya bagi PT. A
Tapi, kalau pengusaha hotel dan restoran yang membayarkan PHR tamunya, menurut saya tidak bisa dijadikan sebagai pengurang penghasilan bagi pengusaha hotel dan restoran tersebut. Sebab, dapat dikategorikan sebagai pemberian kenikmatan. Sama halnya seperti perusahaan membayarkan pajak karyawan.
Salam
pajak hotel dan retoran sejatinya adalah dibebankan pada konsumennya. jadi pemungutannya mirip dengan PPN bagi PKP. dalam prakteknya sangat sulit ditemui ada hotel yang secara langsung menanggung pajak hotel yang dibebankan pada konsumen, karena tentunya akan merugikan hotel itu sendiri..
Originaly posted by begawan5060:Pajak-pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM), Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Originaly posted by hanif:Menurut saya, Pasal 6 tersebut dilihat dari sudut pandang pengguna jasa hotel dan restoran. Misalnya, PT. A membayar pajak hotel dan restoran karena direksinya melakukan rapat kerja disebuah hotel. Pajak hotel dan restoran yang dibayar oleh PT. A tersebut boleh dijadikan sebagai biaya bagi PT. A
pemahaman saya dengan pasal 6 ini sama dengan rekan hanif,,
dimana biaya atas PHR ini bukan dari sisi hotel sebagai penjual, tetapi dari sisi konsumen sebagai pengguna jasa, yang seharusnya membayar PHR ini.moohon koreksi..