Forum Ortax › Forums › Akuntansi Pajak › Pencatatan Biaya Sewa Jika Pemilik Bangunan Tidak Mau Dipotong Pajak
Pencatatan Biaya Sewa Jika Pemilik Bangunan Tidak Mau Dipotong Pajak
rekan saya punya pertimbangan kenapa gross up tidak diperkenankan :
1. Sesuai ketentuan perpajakan : Objek Pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh ……
Pengertian diperoleh inilah yang senyatanya disatu pihak akan menjadi penghasilan dan dilain pihak akan menjadi biaya……artnya bagaimana kita bisa menjamin bahwa PT A membebankan biaya secara gross up Rp. 83.333.333 tersebut akan diikuti oleh PT B sebagai lawan transaski dengan mencatat sebagai pendapatan sebesar Rp 83.333.333.
………hal ini menurut pendapat saya melanggar prinsip "Nilai Transaksi yang sebenarnya"2. PPN..bukankah dengan men-gross up maka pihak yang membayar akan dikenakan PPN yang lebih tinggi…walauapun mungkin bisa dikreditkan tetapi secara cash flow jelas akan menjadikan "pengeluaran biaya yang tidak seharusnya dilakukan"
3. PPh..jelas metode gross up ini akan membuat Pajak Penghasilan menjadi lebih besar dari yang seharusnya. ..Dampak lain sebagai contoh transaski rekan bukan jenis transaksi yang dikenakan PPh Final..maka apabila rekan tidak melakukan pungutan PPh tetapi menanggung pajaknya dan melkukan gross up yang terjadi adalah 1. rekan harus menanggung pajak yang lebih besar 2. rekan harus membuat bukti potong dan atas bukti potong ini akan menjadi kredit pajak bagi si penerima penghasilan…artinya disini rekan sudah memberikan tambahan keringanan pajak bagi lawan trnsaksi sebesar 2X jumlah pajak yang rekan tanggung itu.
4. Sepengetahuan saya contoh gross up atas PPh yang harus dipotong dan atau dipungut dulu atas kasus PPh Ps 26 dan sekarang sudah tidak diberlakukan lagidemikian pendapat saya rekan…
sangat setuju dengan senior hanif…
Originaly posted by hiarto:maka apabila rekan tidak melakukan pungutan PPh tetapi menanggung pajaknya dan melkukan gross up yang terjadi adalah 1. rekan harus menanggung pajak yang lebih besar 2. rekan harus membuat bukti potong dan atas bukti potong ini akan menjadi kredit pajak bagi si penerima penghasilan…artinya disini rekan sudah memberikan tambahan keringanan pajak bagi lawan trnsaksi sebesar 2X jumlah pajak yang rekan tanggung itu.
mohon maap rekan hiarto..menurut saya pernyataan diatas tidak relevan….krn bukankah pihak2 saat membuat perjanjian telah menyetujui kalau penerima sewa akan menerima net 75 Juta??
Harusnya saat itu pihak pembayar sewa telah memperhatikan peraturan perpajakan mengenai potongan pajak… jadi memang seharusnya harus di gross up biaya tersebut ….kalo dari jurnal rekan hirato:
Originaly posted by hiarto:pada saat pembayaran :
(dr) hutang pada A 75
(dr) PPh pasal 4 (2) 7,5
(cr) kas 82,5menurut saya sangat tidak akuntansi bangett….
(dr) PPh pasal 4 (2) 7,5 –> dianggap asset?? jelas tidak mungkin…
dianggap biaya??–>kewajiban membayar pajak ada di pihak penerima sewa… si pembayar hanya memotong….. jadi seharusnya tidak boleh masuk ke dalam laporan laba rugi pembayar sewa…(substance over form)cuma pendapat……
- Originaly posted by hiarto:
sepengetahuan saya cara gross up ini tidak diperbolehkan rekan, karena filosofi pasal 9 huruf h UU Pajak Penghasilan adalah "pajak bukan sebagai pengurang penghasilan bruto"
wah… menarik banyak "perdebatan" nih… ikutan ah…
setuju rekan hiarto…
namun sepertinya anda ini salah persepsi:
dr sudut pemilik gedung:
nilai sewa 83.333.333 (dr contoh rekan hanif)=objek pph
-/- pph final 8.333.333
=uang yg diterima 75jt.dr sudut penyewa:
nilai sewa 83jt tsb=biaya fiskal (asumsi memenuhi prinsip 3m)
-/- pph final 8,3jt
=uang yg dibayarkan ke pemilik gedungjadi pph final 8,3jt tsb memang bukan termasuk sebagai "pengurang penghasilan
bruto" krn yg termasuk "pengurang" adalah nilai sewa 83,3jt tsb yg adalah biaya sewa
yg boleh dianggap biaya fiskal asalkan memenuhi prinsip 3m.salam.
- Originaly posted by hiarto:
rekan saya punya pertimbangan kenapa gross up tidak diperkenankan :
1. Sesuai ketentuan perpajakan : Objek Pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh ……
Pengertian diperoleh inilah yang senyatanya disatu pihak akan menjadi penghasilan dan dilain pihak akan menjadi biaya……artnya bagaimana kita bisa menjamin bahwa PT A membebankan biaya secara gross up Rp. 83.333.333 tersebut akan diikuti oleh PT B sebagai lawan transaski dengan mencatat sebagai pendapatan sebesar Rp 83.333.333.
………hal ini menurut pendapat saya melanggar prinsip "Nilai Transaksi yang sebenarnya"rekan hiarto, jika sudut pandang anda begini… waduh…pertanyaannya adalah:
jika tidak pake metode gross up, apa anda bisa jamin bhw nilai sewa 75jt (pake contoh
rekan hanif) yg diakui sbg biaya oleh pt a sbg penyewa juga pasti diakui pt b sbg
pendapatan oleh pt b sbg pemilik?
pasti jawaban anda juga "tidak bisa jamin", krn memang ndak ada yg bisa jamin…
krn memang hal ini menyangkut 2 entitas yg berbeda yg masing2 entitas tidak bisa
mengontrol entitas yg lainnya.Originaly posted by hiarto:2. PPN..bukankah dengan men-gross up maka pihak yang membayar akan dikenakan PPN yang lebih tinggi…walauapun mungkin bisa dikreditkan tetapi secara cash flow jelas akan menjadikan "pengeluaran biaya yang tidak seharusnya dilakukan"
3. PPh..jelas metode gross up ini akan membuat Pajak Penghasilan menjadi lebih besar dari yang seharusnya. ..Dampak lain sebagai contoh transaski rekan bukan jenis transaksi yang dikenakan PPh Final..Originaly posted by hiarto:maka apabila rekan tidak melakukan pungutan PPh tetapi menanggung pajaknya dan melkukan gross up yang terjadi adalah 1. rekan harus menanggung pajak yang lebih besar 2. rekan harus membuat bukti potong dan atas bukti potong ini akan menjadi kredit pajak bagi si penerima penghasilan…artinya disini rekan sudah memberikan tambahan keringanan pajak bagi lawan trnsaksi sebesar 2X jumlah pajak yang rekan tanggung itu.
setuju… jk memang hanya dibandingkan dpp pake gross up dan dpp non gross up…
namun, bukankah dgn "tambahan" ppn dan pph juga mengakibatkan "tambahan"
biaya fiskal bagi penyewa shg ada "tambahan" penghematan pph badan.Originaly posted by hiarto:4. Sepengetahuan saya contoh gross up atas PPh yang harus dipotong dan atau dipungut dulu atas kasus PPh Ps 26 dan sekarang sudah tidak diberlakukan lagi
kalau yg ini… no comment…
salam. - Originaly posted by div:
menurut saya sangat tidak akuntansi bangett….
(dr) PPh pasal 4 (2) 7,5 –> dianggap asset?? jelas tidak mungkin…
dianggap biaya??–>kewajiban membayar pajak ada di pihak penerima sewa… si pembayar hanya memotong….. jadi seharusnya tidak boleh masuk ke dalam laporan laba rugi pembayar sewa…(substance over form)..skedar koreksi rekan div bahwa si penyewa selain wajib memotong juga wajib mensetor atas pajak yang diptong dan atau dipungut tersebut…(PMK-80)
- Originaly posted by hiarto:
..skedar koreksi rekan div bahwa si penyewa selain wajib memotong juga wajib mensetor atas pajak yang diptong dan atau dipungut tersebut…(PMK-80)
betull… oleh karena itu PPh 4(2) harus dicatat sebagai kewajiban (sisi kredit) ..bukan disisi debet…
- Originaly posted by div:
Originaly posted by hiarto:
..skedar koreksi rekan div bahwa si penyewa selain wajib memotong juga wajib mensetor atas pajak yang diptong dan atau dipungut tersebut…(PMK-80)betull… oleh karena itu PPh 4(2) harus dicatat sebagai kewajiban (sisi kredit) ..bukan disisi debet…
All,
Untuk lebih memperjelas,
Seharusnya jurnal yg dibuat hiarto mungkin seperti ini:
Pada saat pencatatan:
(Dr) Biaya 75
(Cr) Htg A 67,5
(Cr) Htg PPh 4(2) 7,5Pada saat pembayaran:
(Dr) Htg A 67,5
(Dr) Htg PPh 4(2) 7,5
(Cr) Kas / Bank 75 Wah gw jadi banyak tau nih, tapi kesimpulannye bagi gw, letaknya bukan masalah gross up itu boleh atau tidak! tapi dilihat dari transaksi yang didukung oleh dokumen legal seperti kwitansi!
1. Jika si pemilik ruko mau membuatkan kwitansi dan surat perjanjian kontrak sebesar nilai Gross up sebesar Rp.83.333.333(karena dia maunya terima bersih sebesar 75 juta).
maka jurnalnya pak hanif bisa dipake yaitu :
Beban sewa………….83.333.333
…….Kas…………………………………. ….75.000.000
……Hutang Sewa……………………………8.333.333jadi dasar yang dikemukakan pak hiarto mengenai penghasilanyaitu:
"1. pasal 4 UU PPh..yang menjadi penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak…"telah terpenuhi yaitu sebesar Rp. 83.333.333 (diasumsikan sipemilik ruko memberi tarif sewa sebesar Rp. 83.333.333,- dan dipotong sebesar Rp. 8.333.333 sehingga menerima Rp.75.000.000)
Tapi jika sipemilik tidak mau memberikan kwitansi sebesar grossup, maka jurnal tersebut diatas tidak diperbolehkan, karena Biaya sewa tersebut tidak sesuai dengan bukti transaksi ( Bisa kena sama auditor maupun orang pajak) koq ada biaya ga sesuai dengan bukti transaksi. Berarti si penyewa tetap harus menjurnal
Beban sewa………….75.000.000
…….Kas…………………………………. ….75.000.000
dan prusahaan tetap harus menyetor pph psl 4 nya
karena penyewa yang kena kewajiban memungut dan menyetor, kalo ga mungut, negara ga mau tau, pokonye hrs setor,(kalo enggak nanti yg kena sanksi sipenyewa karena dianggap lalai atau menggelapkan uang negara) sehingga jurnalnya :
Dr. Biaya PPh. 4………Rp.7.500.000
Kr. Hutang PPh psl 4 ……….Rp. 7.500.000,
pas nyetor
Dr. Hutang Pajak ………Rp. 7.500.000
Kr. Kas……………………….Rp. 7.500.000Nah kalo ada komentar, masa ada Biaya PPh. pasal 4, tinggal jawab aje, "lah wong Nama COA ga ada ketentuannye koq, mau dibikin Biaya Pph psl 4 keq, Biaya serba serbi keq, biaya entertain keq ga jadi soal, asal jgn nyimpang jauh dari ketentuan yg udeh ditetapkan aje, misalnye ke "Pembelian Bahan Baku", "Biaya Penyusutan" atau lainnya, itu baru kebangetan jurnalnye.
Cuma yang pasti nilai Rp. 7.500.000 tetap harus dikoreksi fiskal! alasannye adalah ………feeling aje hehehe, mungkin ada yang bantu kasih alasannya kenape harus dikoreksi fiskal!Dan yang terakhir, ya cari ruko lain kalo ketemu pemilik kaya gini yg mau enaknye aje trus laporin ke kantor pajak krn ga mau dipungut.
ga boleh
He..he…he… sudah basi diangkat kembali, ya…
Originaly posted by varinkaspi:Wah gw jadi banyak tau nih, tapi kesimpulannye bagi gw, letaknya bukan masalah gross up itu boleh atau tidak! tapi dilihat dari transaksi yang didukung oleh dokumen legal seperti kwitansi!
1. Jika si pemilik ruko mau membuatkan kwitansi dan surat perjanjian kontrak sebesar nilai Gross up sebesar Rp.83.333.333(karena dia maunya terima bersih sebesar 75 juta).
maka jurnalnya pak hanif bisa dipake yaitu :
Beban sewa………….83.333.333
…….Kas…………………………………. ….75.000.000
……Hutang Sewa……………………………8.333.333Sependapat memang seharusnya demikian sehingga apabila pemilik ruko PKP, maka yang menjadi DPP PPN harus nilai setelah gross up..
Originaly posted by varinkaspi:Tapi jika sipemilik tidak mau memberikan kwitansi sebesar grossup, maka jurnal tersebut diatas tidak diperbolehkan, karena Biaya sewa tersebut tidak sesuai dengan bukti transaksi ( Bisa kena sama auditor maupun orang pajak) koq ada biaya ga sesuai dengan bukti transaksi. Berarti si penyewa tetap harus menjurnal
Beban sewa………….75.000.000
…….Kas…………………………………. ….75.000.000
dan prusahaan tetap harus menyetor pph psl 4 nya
karena penyewa yang kena kewajiban memungut dan menyetor, kalo ga mungut, negara ga mau tau, pokonye hrs setor,(kalo enggak nanti yg kena sanksi sipenyewa karena dianggap lalai atau menggelapkan uang negara) sehingga jurnalnya :
Dr. Biaya PPh. 4………Rp.7.500.000
Kr. Hutang PPh psl 4 ……….Rp. 7.500.000,
pas nyetor
Dr. Hutang Pajak ………Rp. 7.500.000
Kr. Kas……………………….Rp. 7.500.000Saya luruskan dikit ya, rekan Varin…
Jurnal saat terima tagihan (PPN diabaikan):
Biaya sewa = 75.000.000
………. Hutang biaya sewa = 75.000.000Jurnal saat pelunasan (baru dilakukan pemotongan) :
Hutang Biaya sewa = 75.000.000
Biaya Pajak = 7.500.000 —> dikoreksi fiskal saat penyusunan L/R
…………… Kas/Bank = 75.000.000
…………… Hutang PPh Ps 4(2) = 7.500.000Jurnal saat penyetoran PPh Ps 4(2) ke kas negara :
Hutang PPh Ps 4(2) = 7.500.000
…………… Kas = 7.500.000- Originaly posted by begawan5060:
Jurnal saat pelunasan (baru dilakukan pemotongan) :
Pak Begawan, bukannya saat terutang atau pembayaran mana lebih dahulu? Khan PPh final diatur tersendiri, tidak ikut PP 94.
Mohon pencerahannya Pak Begawan..
Salam - Originaly posted by simonalim:
Pak Begawan, bukannya saat terutang atau pembayaran mana lebih dahulu?
Maaf rekan simon, bisa dikutipkan ketentuannya? He..he..he.. lagi males nyari sendiri..
Trus nanti kita bahas lagi.. - Originaly posted by begawan5060:
Trus nanti kita bahas lagi..
Hehehe.. muantabes Pak Begawan.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 227/PJ./2002
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNANPasal 5
(1) Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
pihak penyewa wajib:
a. Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa,
tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
b. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa;
c. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor
Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa;(2) Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2), pihak yang menyewakan wajib:
a. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling
lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau
terutangnya sewa;
b. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor
pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa; Terima kasih, rekan Simon… padahal saya juga sudah tahu xii..xii..xii
Hanya saja di KMK tidak berbunyi demikian…
Masalah pembuatan jurnal tetap sama saja. Pada dasarnya tidak pernah ada pemotongan kalo tidak ada "sesuatu" yang dipotong..Contoh 1 :
Tg. 5-1-12 terima tagihan, jurnalnya :
Biaya sewa = 100
………. Hutang biaya sewa = 100Tgl. 15-1-12 tagihan dilunasi :
Hutang Biaya sewa = 100
…………… Kas/Bank = 98
…………… Hutang PPh Ps 4(2) = 2Tgl. 10-2-12 Jurnal saat penyetoran PPh Ps 4(2) ke kas negara (masa pajak Januari):
Hutang PPh Ps 4(2) = 2
…………… Kas = 2Contoh 2 :
Tg. 5-1-12 terima tagihan, jurnalnya :
Biaya sewa = 100
………. Hutang biaya sewa = 100Tgl. 15-2-12 tagihan dilunasi :
Hutang Biaya sewa = 100
…………… Kas/Bank = 98
…………… Hutang PPh Ps 4(2) = 2Tgl. 15-2-12 saat penyetoran PPh Ps 4(2) ke kas negara (masa pajak Januari):
Hutang PPh Ps 4(2) = 2
…………… Kas = 2
Dengan demikian dikenai bunga terlambat bayar.Contoh 3 (untuk menghindari bunga terlambat bayar:
Tg. 5-1-12 terima tagihan, jurnalnya :
Biaya sewa = 100
………. Hutang biaya sewa = 100Tgl. 10-2-12 disetor PPh Ps 4(2) ke kas negara (masa pajak Jan), jurnalnya :
PPh Ps 4(2) = 2
…………. Kas = 2Tgl. 15-2-12 tagihan dilunasi :
Hutang Biaya sewa = 100
…………… Kas/Bank = 98
…………… Hutang PPh Ps 4(2) = 2Pasal 4 KMK No. 394 Tahun 1996
Penyewa sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) berkewajiban untuka memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada saat pembayaran atau terutangnya sewa;
b memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final kepada orang atau badan yang menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan Pajak Penghasilan;
c menyetorkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
d melaporkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR KEP – 227/PJ./2002
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN
DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNANPasal 5
(1) Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
pihak penyewa wajib:
a. Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
b. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
c. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa;(2) Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2), pihak yang menyewakan wajib:
a. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
b. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor
pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan
pembayaran atau terutangnya sewa;Bila dibandingkan dengan KMK, KEP telah menambahkan kata2 "tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi". Alangkah powerfullnya Dirjen Pajak.
Padahal, KMK memberikan pilihan kepada pemotong pajak untuk melaksanakan kewajibannya saat ia mengakui adanya beban sewa terutang atau saat dibayarkannya penghasilan kepada penyewa.Berkutnya, ketentuan berikut tidak lagi dicantumkan dalam KEP :
memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final kepada orang atau badan yang menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan Pajak PenghasilanDengan demikian, berdasarkan KEP, penyewa harus memberikan bukti potong PPh Pasal 4 ayat 2 saat ia mengakui adanya beban sewa terutang dan telah memotong pajaknya, walaupun pembayaran belum dilakukan.
Akibatnya, pemilik bangunan akan heran dan kaget karena penghasilan belum ada tapi pajaknya sudah dipotong dan "terpaksa" melakukan pencatatan pengakuan adanya penghasilan serta pajak yang sudah dipotong tersebut.Salam