Forum Ortax › Forums › Perpajakan Internasional › PPN & PPH 26 Jasa Luara Negeri
PPN & PPH 26 Jasa Luara Negeri
- Originaly posted by begawan5060:
Jadi.., kalo murni bukan objek pemotongan, haruskah dibutuhkan P3B/DGT?
Tidak. Terima kasih Koreksinya Pak.
Namun untuk objek/tidaknya di UU PPh:
——————-
Pasal 26
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.
——————Pak Begawan, PPh Psl.26 setahu saya memang sengaja untuk menciptakan Double Taxtation dan untuk menghindari Double Taxtation tsb dibuat P3B beserta persyaratannya. Mohon koreksi bila salah.
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 961/PJ.342/2002
TENTANGPERLAKUAN PERPAJAKAN PPh PASAL 26
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor:xxx tanggal 17 Juni 2002 dan Nomor: xxx tanggal 30 April 2002
perihal tersebut di atas, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:1. Saudara mengajukan pertanyaan berkaitan dengan transaksi klien Saudara dalam bidang Consultant
Engineering Technical Services dengan salah satu perusahaan di Australia. Saudara menyampaikan
dua hal, yaitu:
(i) dalam hal pekerjaan tersebut sepenuhnya dilakukan di Australia, dan
(ii) dalam hal pekerjaan dilakukan sebagian di Indonesia dan sebagian lagi dilakukan di Australia.Pertanyaan Saudara adalah :
a. Bagaimana perlakuan pajak atas kedua kasus di atas? Apakah terutang PPh Pasal 26 atau
tidak terutang sama sekali?
b. Jika terutang, apakah langsung dapat menggunakan tarif sesuai dengan tax treaty antara
Indonesia-Australia? Berapa besar arif yang digunakan?
c. Apakah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi jika menggunakan tarif sesuai dengan tax
treaty antara Indonesia-Australia, misalnya dengan mengajukan Surat Keterangan Tarif PPh
Pasal 26?2. Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (M) Indonesia-Australia, antara lain diatur sebagai
berikut :
a. Pasal 7 ayat (1) bahwa: Laba suatu perusahaan yang merupakan penduduk dari salah satu
negara hanya akan dikenakan pajak di negara itu, kecuali perusahaan tersebut melakukan
kegiatan usahanya melalui suatu permanent establishment (BUT) yang berada di negara
lainnya. Apabila perusahaan itu menjalankan usaha seperti tersebut di atas maka laba
perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang
dianggap berasal dari :
a) bentuk usaha tetap tcrsebut;
b) penjualan atas barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya
dengan yang dijual melalui bentuk usaha tetap itu; atau
c) kegiatan-kegiatan usaha lainnya, yang dijalankan di Negara lain itu yang sama atau
serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap itu.
b. Pasal 5 ayat (2) berbunyi: Istilah BUT mencakup:
(j) pemberian jasa, termasuk jasa konsultasi, oleh perusahaan salah satu negara melalui
pegawainya atau orang lain yang ditunjuk oleh perusahaan tersebut, apabila jasa
dimaksud diberikan, untuk proyek yang sama atau berkaitan, di negara lainnya untuk
masa atau masa-masa yang berjumah lebih dari 120 hari dalam 12 bulan.3. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain
mengatur bahwa atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 1, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri
atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan
neto oleh pihak yang wajib membayarkan.4. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Pcnghasilan antara lain mengatur bahwa
atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan dengan nama dan
dalam bentuk apapun, yang dibayarkan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepadaWajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan dan bersifat final.5. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-170/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Jenis Jasa Lain dan Perkiraan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) huruf c Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 antara lain diatur bahwa :
a. Jenis jasa lain tersebut antara lain adalah jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi.
b. Besamya perkiraan penghasilan neto sehubungan dengan imbalan jasa konsultan, kecuali
konsultan konstruksi adalah 50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
c. Yang dimaksud dengan jumlah imbalan bruto untuk jasa lain selain jasa konstruksi dan jasa
catering adalah jumlah imbalan yang dibayarkan hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali
apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian j asa dengan
material/ barang akan dikenakan atas seluruh nilai kontrak.6. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang
Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara lain diatur sebagai berikut :
a. Wajib Pajak luar negeri wajib menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada
pihak yang membayarkan penghasilan dan menyampaikan fotokopi SKD tersebut kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pihak yang membayarkan penghasilan terdaftar. SKD
asli tersebut menjadi dasar bagi pihak yang membayarkan penghasilan untuk menerapkan
PPh Pasal 26 sesuai ketentuan yang ditegaskan dalam P3B yang berlaku antara Indonesia
dengan negara tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri tersebut.
b. Surat Keterangan Domisili diterbitkan oleh Competent Authority atau wakilnya yang sah di
negara treaty partner. Namun demikian, Surat Keterangan Domisili yang dibuat oleh pejabat
pada Kantor Pajak tempat Wajib Pajak luar negeri yang bersangkutan terdaftar dapat
diterima dan dipersamakan dengan Surat Keterangan Domisili yang dibuat Competent
Authority.
c. Terhitung mulai tanggal pelaksanaan Surat Edaran ini maka pelaksanaan Surat Edaran Nomor
SE-08/PJ.35/1993 tanggal 11 Maret 1993 tentang Surat Keterangan Bebas dan Surat
Keterangan Tarif Pemotongan PPh Pasal 26 sehubungan dengan ketentuan dalam P3B dan
Surat Edaran Nomor SE-22/PJ.35/1993 tanggal 31 Agustus 1993 tentang Penegasan Lebih
Lanjut SE-08/PJ.35/1993 dinyatakan tidak berlaku.7. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Atas imbalan dibayarkan oleh PT. PRU sehubungan dengan jasa konsultan yang dilakukan
oleh Perusahaan yang berkedudukan di Australia, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 23 sebesar 15%x50% atau 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto tidak
termasuk PPN, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa
atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua
belas bulan. Adapun pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut merupakan
pembayaran pendahuluan pajak yang dapat dikreditkan/diperhitungkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan;
b. Sesuai dengan ketentuan P3B antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, atas
imbalan yang dibayarkan oleh PT. Porter Rekayasa Utama kepada perusahaan Australia tidak
dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, sepanjang jasa tersebut dilakukan di luar
Indonesia atau sepanjang Perusahaan Australia tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia;
c. Untuk penerapan ketentuan P3B tersebut pada butir 6 di atas, Perusahaan Australia wajib
menyerahkan asli Surat Keterangan Domisili (SKD) yang diterbitkan dan ditandatangani oleh
pejabat Competent Authority di Australia, kepada PT.PRI sebagai pihak yang membayarkan
penghasilan dan menyerahkan fotokopinya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
PT. PRI terdaftar.
d. Apabila Perusahaan Australia tidak dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili (SKD)
dimaksud, maka atas pembayaran imbalan jasa konsultan tersebut dikenakan pemotongan
pajak di Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto sesuai ketentuan
Pasal 26 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan.
e. Ketentuan mengenai Surat Keterangan Tarif sudah tidak berlaku dan tidak diperlukan lagi
sebagaimana dijelaskan dalam butir 6 tersebut di atas.Demikian untuk dimaklumi.
A.n. Direktur Jenderal
Direktur,ttd.
IGN Mayun Winangun
NIP 060041978Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Direktur Pajak Penghasilan.Bagaimana dengan Surat ter
- Originaly posted by simonalim:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang.Sumbernya terletak di INA..
Originaly posted by simonalim:Pak Begawan, PPh Psl.26 setahu saya memang sengaja untuk menciptakan Double Taxtation
Bukan demikian, rekan Simon
UU PPh kita, memang agak serakah yaitu sekaligus memakai :
1. asas domisili (didasarkan domisili subjek pajak); dan
2. asas sumber (didasarkan munculnya sumber ph); dan
3. asas kewarganegaraan (khusus untuk WNI, selama masih WNI berarti WPDN)Originaly posted by simonalim:untuk menghindari Double Taxtation tsb dibuat P3B beserta persyaratannya.
Yang ini sangat setuju…
Konsep dasar P3B adalah :
1. Perlakuan timbal balik;
2. Apabila dapat dikenai pajak oleh kedua negara, ditentukan siapa yang berhak memajaki;
3. Menentukan tarip pemajakan Mengenai S-961/PJ.342/2002, terserah bagaimana rekan Simon menyikapinya..
Tetapi menurut saya, surat tsb mendua dan nggak jelas..
Misalnya :
Atas imbalan dibayarkan oleh PT. PRU sehubungan dengan jasa konsultan yang dilakukan oleh Perusahaan yang berkedudukan di Australia, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15%x50% atau 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan. Adapun pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan pajak yang dapat dikreditkan/diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutanKenapa PPh Ps 23? Bukan PPh Ps 26? Dan kenapa tidak melihat P3B-nya?
Misalnya :
Sesuai dengan ketentuan P3B antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia, atas imbalan yang dibayarkan oleh PT. Porter Rekayasa Utama kepada perusahaan Australia tidak dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26, sepanjang jasa tersebut dilakukan di luar Indonesia atau sepanjang Perusahaan Australia tersebut tidak mempunyai BUT di Indonesia;Bukankah tanpa melihat P3B, juga bukan objek pemotongan menurut UU PPh kita?
- Originaly posted by begawan5060:
Atas imbalan dibayarkan oleh PT. PRU sehubungan dengan jasa konsultan yang dilakukan oleh Perusahaan yang berkedudukan di Australia, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15%x50% atau 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan.
Menurut saya ini syarat kumulatif Pak karena menggunakan kata sambung "dan".
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 94/PJ.313/1995TENTANG
IURAN ANGGOTA KEPADA XYZ
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara Nomor : XXX tanggal 25 April 1995 perihal tersebut di atas, dengan ini
diberitahukan penegasan sebagai berikut :1. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan UU Nomor 10 Tahun 1994, termasuk sebagai Subyek Pajak badan antara lain adalah
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi sejenis, lembaga dan bentuk badan usaha lainnya.XYZ, sebagai asosiasi perusahaan termasuk sebagai Subjek Pajak badan dan kepadanya diberikan
NPWP dan mempunyai kewajiban perpajakan sebagaimana Wajib Pajak lainnya termasuk mengisi
dan memasukkan SPT Tahunan PPh Badan.2. Iuran kepada XYZ sebesar US $10 per m3 ekspor hasil produksi plywood sebagaimana diuraikan
dalam surat Saudara bagi XYZ merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan,
sedangkan bagi anggota XYZ walaupun namanya iuran, tetapi karena bersifat mengikat dan
merupakan kewajiban yang harus dibayar, dapat diperhitungkan sebagai biaya.3. Apabila ternyata dikemudian hari iuran tersebut sebagian atau seluruhnya dikembalikan kepada
anggota, maka bagi XYZ merupakan pengurangan penghasilan, sedangkan bagi anggota pengembalian
tersebut merupakan penghasilan.4. Iuran kepada XYZ bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23, sehingga tidak perlu dipotong
PPh Pasal 23.5. Berdasarkan butir 2 surat Saudara tersebut, penjualan ekspor kayu lapis dan lain-lain ke Jepang
harus dilakukan melalui perusahaan ABC. Jasa ekspor (fee) sebesar US $5 per m3 yang dibayarkan
kepada ABC merupakan biaya, dan bagi ABC merupakan penghasilan.Apabila ABC merupakan Wajib Pajak dalam negeri, maka atas pembayaran fee tersebut tidak terutang
PPh Pasal 23, namun terutang PPh Pasal 25 sebesar 15% dari jasa ekspor yang diterimanya,
diberlakukan sama dengan penerimaan atas handling fee sesuai dengan SE-07/PJ.242/1984 tanggal
10 Maret 1984.Dalam hal ABC merupakan Wajib Pajak luar negeri, maka perlakuan PPh atas jasa penjualan tersebut
adalah sebagai berikut :
– Sebelum 1 Januari 1995 hanya dikenakan apabila jasa tersebut dilakukan di Indonesia;
– Setelah 1 Januari 1995 dikenakan PPh Pasal 26 tanpa memperhatikan jasa tersebut dilakukan
di Indonesia atau di luar Indonesia.Perlu juga ditegaskan bahwa apabila ABC berdomisili di negara yang mempunyai tax treaty dengan
Indonesia, maka pengenaan pajaknya sesuai dengan perjanjian/treaty tersebut.6. Ketentuan seperti diuraikan di atas sudah berlaku sejak berlakunya Undang-undang Pajak Penghasilan
yaitu mulai Januari 1984.Demikian untuk dimaklumi.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
FUAD BAWAZIER
Kalau saya baca dari Surat tsb, perubahan tersebut sejak UU PPh di NOMOR 10 TAHUN 1994.
Apakah surat ini benar Pak Begawan? Surat yang agak bertentangan menurut saya..
SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S – 1046/PJ.323/2004TENTANG
OBJEK PPh PASAL 26 YANG JUGA DIKENAKAN PPN IMPOR
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 15 September 2003, perihal sebagaimana tersebut
pada pokok surat, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :1. Dalam Surat tersebut, secara garis besar dikemukakan sebagai berikut:
a. Sehubungan dengan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994
tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Atau Jasa Kena
Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran,
Dan Pelaporannya sebagaimana diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Nomor
SE-08/PJ.5/1995 tanggal 17 Maret 1995 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta
Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya, Saudara menganggap bahwa
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai terhadap Objek Pajak berupa Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean dalam aplikasinya berbenturan atau
overlapping dengan pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Objek Pajak yang sama yaitu
royalti dan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
b. Saudara menanyakan apakah Jasa Konsultan yang dilakukan oleh Wajib Pajak luar Negeri
termasuk pengertian imbalan sehubungan dengan pekerjaan, dan kegiatan yang semata-
mata menjadi objek Pajak Penghasilan yang terutang PPh Pasal 26, atau semata-mata
merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai atau sekaligus kedua-duanya.2. Ketentuan Pajak Pertambahan Nilai yang berkaitan dengan permasalahan dimaksud adalah sebagai
berikut:
a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, antara lain mengatur sebagai berikut:
1) Pasal 1 angka 2 : Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud;
2) Pasal 1 angka 5 : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau
kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk
menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas
petunjuk dari pemesan;
3) Pasal 1 angka 8 : Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
4) Pasal 1 angka 10 : Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah
setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
5) Pasal 3A ayat (3), Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf d dan atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor dan
melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata
caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan;
6) Pasal 4, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan antara lain atas pemanfaatan Barang
Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Di dalam memori penjelasan dinyatakan bahwa untuk dapat memberikan perlakuan
pajak yang sama dengan impor Barang Kena Pajak, maka atas Barang Kena Pajak
tidak berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh
siapapun di dalam Daerah Pabean juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Jasa
yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam
Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak
"C" di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha "B" yang
berkedudukan di Singapura, atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang
Pajak Pertambahan Nilai.b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata cara Penghitungan,
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, mengatur
antara lain sebagai berikut:
1) Pasal 2 : Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena
Pajak (BKP) tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean,
dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan
atau JKP dari luar Daerah Pabean pada saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan atau JKP dari Luar Daerah Pabean;
2) Pasal 3 ayat (1) : Saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP
dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah saat yang
diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. saat BKP tidak berwujud dan atau JKP tersebut secara nyata digunakan oleh
pihak yang memanfaatkannya;
b. saat harga perolehan BKP tidak berwujud dan atau JKP tersebut dinyatakan
sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual BKP tidak berwujud dan atau JKP tersebut ditagih oleh pihak
yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan BKP tidak berwujud dan atau JKP tersebut dibayar
sebagian ataupun seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
3) Pasal 3 ayat (2) : Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan
atau JKP dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari
luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau
saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
4) Pasal 4 ayat (1) : Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 harus disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau
Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
pemungutan.
5) Pasal 4 ayat (2) : Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah
disetor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.3. Ketentuan Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan permasalahan dimaksud adalah Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, antara lain mengatur sebagai berikut :
1) Pasal 4 ayat (1) huruf a dan h : Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, antara lain termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini dan royalti.
2) Pasal 26 ayat (1) huruf c dan d : Atas penghasilan berupa royalti, sewa, dan penghasilan lain
sehubungan dengan penggunaan harta dan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto
oleh pihak yang wajib membayarkan.4. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pada butir 2 dan 3 di atas serta memperhatikan isi surat Saudara
pada butir 1 dengan ini diberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Atas penyerahan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak luar negeri di dalam daerah Pabean
seperti jasa teknik, jasa perbaikan mesin, jasa produksi, jasa manajemen pemasaran,
perlakuan perpajakannya dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1) Perlakuan Pajak Penghasilan
– Barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean berupa hak patent, hak
oktroi, hak cipta dan hak menggunakan merk dagang termasuk dalam
pengertian royalti yang terutang PPh Pasal 26 dengan tarif sebesar 20% (dua
puluh persen) atau tarif menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dengan negara bersangkutan;
– Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean berupa jasa perencanaan atau
penggambaran umum serta jasa yang dilakukan secara fisik di dalam Daerah
Pabean, seperti : jasa konsultan, jasa pengacara, jasa akuntan, jasa
surveyor termasuk dalam pengertian imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan terutang PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh
persen) atau tarif menurut P3B dengan negara bersangkutan;
– Jasa yang melekat atau ditujukan pada barang bergerak seperti jasa
persewaan rig atau pengeboran minyak dan jasa persewaan alat berat
termasuk dalam pengertian sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta terutang PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen)
atau tarif menurut P3B dengan negara yang bersangkutan;
– Subjek Pajak PPh adalah Wajib Pajak luar negeri yang memperoleh
penghasilan sehubungan dengan penyerahan jasa di Indonesia dan
Objek Pajaknya adalah penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun,- Originaly posted by simonalim:
Menurut saya ini syarat kumulatif Pak karena menggunakan kata sambung "dan".
Bukan masalah syaratnya, benarkah dipotong PPh Ps 23? Bukankah pemotongan PPh Ps 23 hanya thd Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap? Bukankah sudah jelas dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap? Bukankah seharusnya menjadi objek pemotongan PPh Ps 26? Setelah pasti menjadi objek pemotongan PPh Ps 26, barulah kita lihat P3B-nya… Siapa yang berhak memajaki, ada perubahan tarip enggak, dsb..
yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
2) Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
– Atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau pemanfaatan JKP dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut oleh
Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan atau
JKP dari luar Daerah Pabean pada saat dimulainya pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean tersebut sehingga, Objek
PPN adalah pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean.b. Dengan demikian, tidak terjadi pengenaan pajak berganda terhadap objek pajak yang sama
mengingat objek pajak dan subjek pajak atas Jasa sebagaimana dimaksud pada butir a tidak
sama.Demikian disampaikan untuk dimaklumi.
A.n. DIREKTUR JENDERAL
DIREKTUR,ttd
HERRY SUMARDJITO
Tertinggal…. xixixi…
- Originaly posted by simonalim:
Kalau saya baca dari Surat tsb, perubahan tersebut sejak UU PPh di NOMOR 10 TAHUN 1994.
Apakah surat ini benar Pak Begawan?Memang benar terjadi perubahan pada bunyi pasalnya, yaitu :
Semula :
imbalan yang dibayarkan untuk jasa teknik, jasa manajemen dan jasa lainnya yang dilakukan di Indonesia;
Menjadi :
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatanTetapi dalam penjelasannya, diberikan contoh yang sumbernya memang terletak/berasal dari INA.
Coba kita bayangkan, apabila Mr. X domisili/WN Singapura, menyewakan rumahnya sendiri yang terletak di Singapura. Hanya gara-gara si penyewa berdomisili di INA (WNI), maka uang sewanya dipotong PPh Indonesia.. Logiskah?
Mngenai surat-surat tsb malahan saya bingung, pagi bilang merah sore bilang biru..
Sebenarnya kita harus berpegang pada asasnya/filosofinya..
- Originaly posted by begawan5060:
Bukan masalah syaratnya, benarkah dipotong PPh Ps 23? Bukankah pemotongan PPh Ps 23 hanya thd Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap? Bukankah sudah jelas dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap? Bukankah seharusnya menjadi objek pemotongan PPh Ps 26?
Originaly posted by simonalim:7.Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
a.Atas imbalan dibayarkan oleh PT. PRU sehubungan dengan jasa konsultan yang dilakukan oleh Perusahaan yang berkedudukan di Australia, dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15%x50% atau 7,5% (tujuh koma lima persen) dari jumlah bruto tidak termasuk PPN, jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan. Adapun pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut merupakan pembayaran pendahuluan pajak yang dapat dikreditkan/diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang bersangkutan;Ijin Mengungkapkan pendapat, rekan Begawan.
Kalau menurut pendapat saya, benar dipotong pph 23, rekan Begawan, di Surat tsb disebutkan bahwa jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, sehingga otomatis akan menjadi BUT rekan Begawan karena lebih dari 120 hari. Oleh karena itu dlm surat tsb disebutkan mjd obyek pph23.
- Originaly posted by begawan5060:
Mngenai surat-surat tsb malahan saya bingung, pagi bilang merah sore bilang biru..
Hehehe.. bisa sajah Pak Begawan dapat kosakatanya..
Originaly posted by begawan5060:Sebenarnya kita harus berpegang pada asasnya/filosofinya..
Yah.. dasar pajak, kejar target mulu sih. xixixi..
- Originaly posted by hkw_tax:
Kalau menurut pendapat saya, benar dipotong pph 23, rekan Begawan, di Surat tsb disebutkan bahwa jika kegiatan jasa tersebut berlangsung di Indonesia dan meliputi satu masa atau beberapa masa yang secara keseluruhan lebih dari 120 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, sehingga otomatis akan menjadi BUT rekan Begawan karena lebih dari 120 hari
Benar…..
Maksud saya jika tidak, seharusnya dipotong PPh Ps 26 atau tidak dipotong sama sekali? - Originaly posted by begawan5060:
jika tidak, seharusnya dipotong PPh Ps 26 atau tidak dipotong sama sekali?
jika tidak dilakukan di Indo, namun ada tax treaty, mengikuti tax treaty yg biasanya tdk dipotong.
Namun jika tidak dilakukan di Indo, tdk ada tax treaty, dipotong pph 26, rekan Begawan.
- Originaly posted by hkw_tax:
Namun jika tidak dilakukan di Indo, tdk ada tax treaty, dipotong pph 26, rekan Begawan.
Misalkan rekan Hkw sedang berada di negara X (non P3B). Meminta jasa bengkel di negara X tsb untuk memperbaiki mobil rekan Hkw. Trus rekan Hkw mengirim ongkosnya dari INA, dan dipotong PPh Ps 26. Apalah mereka mau? Mereka berusaha dan bekerja di negaranya sendiri, gara-gara dapat pelanggan WNI, harus bayar PPh Indonesia?
- Originaly posted by begawan5060:
Misalkan rekan Hkw sedang berada di negara X (non P3B). Meminta jasa bengkel di negara X tsb untuk memperbaiki mobil rekan Hkw. Trus rekan Hkw mengirim ongkosnya dari INA, dan dipotong PPh Ps 26. Apalah mereka mau? Mereka berusaha dan bekerja di negaranya sendiri, gara-gara dapat pelanggan WNI, harus bayar PPh Indonesia?
Kalau menurut saya tetap dipotong pph 26, rekan Begawan.
Dengan Dasar UU 36 th 2008, Pasal 26:Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan,
disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak
dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha
tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha
tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua
puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib
membayarkan:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan pengembalian
utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang. Terkait dengan topik ini saya sependapat dengan rekan simonalim dan hkw_tax.
Sepanjang penghasilannya bersumber dari Indonesia terkait dengan pasal 26, baik dilakukan di dalam atau luar negeri, maka wajib memotong PPh 26 ( dalam hal tidak memenuhi syarat untuk menggunakan ketentuan tax treaty )